Wednesday, September 28, 2005

Remaja Butuh Informasi Seks Sedini Mungkin

SUARA PEMBARUAN DAILY
Remaja Butuh Informasi Seks Sedini Mungkin
Oleh Wartawan ''Pembaruan''
SUMEDI TP

Para remaja umumnya bingung mencari informasi yang berkaitan dengan masalah seks. Tak mengherankan jika mereka menganggap seks hanyalah hubungan seksual semata. Mereka hanya berani membicarakan masalah seks dengan teman sendiri, di antaranya secara sembunyi-sembunyi mencoba mempraktekkan apa yang mereka lihat di gambar atau film porno. Tanpa pengetahuan yang benar, mereka bergaul dengan bebas, melakukan hubungan seks di luar nikah tanpa memahami risikonya.

Akibat kurangnya pengetahuan, banyak remaja putri kehilangan kegadisan, hamil di luar nikah, sebagian mencoba melakukan pengguguran kandungan, bahkan ada yang dikucilkan dari keluarga atau lingkungannya. Sedangkan para remaja putra banyak yang ikut-ikutan atau mencoba bergaul dengan WTS dan tertular berbagai penyakit kelamin atau populer disebut penyakit menular seksual (PMS).
''Remaja membutuhkan informasi mengenai masalah seks yang benar sejak di sekolah dasar. Pada usia 10 tahun saya sudah mendapatkan buku porno. Pada usia 15 tahun saya sering nonton film porno. Saya ingin bertanya tentang seks tapi tidak tahu harus ke mana. Teman-teman tahunya seks itu ya ... hubungan seks,'' ujar Aji, remaja dari Lampung, pada dialog tentang kesehatan reproduksi yang digelar BKKBN dan UNFPA, di Jakarta, Rabu (19/7).
Para remaja peserta dialog itu umumnya menyayangkan para orangtua yang masih menabukan pembicaraan masalah seks. Demikian pula kalangan agama dan pendidik masih menganggap segala sesuatu yang berhubungan dengan seks itu tabu, dilarang, dosa. Tidak pernah ada penjelasan. Padahal di sekeliling mereka bermunculan segala hal yang berbau pornografi, film di televisi banyak yang mengajarkan pola hidup bebas.

Fungsi Organ

Aji juga mengungkapkan, dia tidak memahami kenapa ada teman putri di sekolahnya mengeluarkan darah (menstruasi) di dalam kelas. Guru dan orangtua yang ditanya tidak mau menjelaskan dengan benar. Pokoknya semua anak perempuan bisa berdarah dari alat kelaminnya. Fungsi organ tubuh juga tidak ada yang mau menjelaskan. Sejak kecil Aji selalu bertanya-tanya tentang seks tapi jawabannya selalu membingungkan.
Candi, seorang peserta dialog dari Jakarta mengatakan, pemerintah tidak melegalkan pendidikan seks di sekolah dengan alasan yang tidak jelas, padahal di mana-mana, film dan buku-buku porno bebas diperjualbelikan. Majalah bergambar dan bercerita porno mudah didapatkan di tempat umum. VCD cabul bisa dibeli dan disewa dengan mudah. Poster film bioskop dengan gambar menjurus porno boleh dipasang besar-besar. Hal ini menunjukkan tidak konsistennya pemerintah dan para orangtua.

''Dulu, buku dan gambar-gambar porno dijual secara sembunyi-sembunyi, sekarang terang-terangan bahkan ada yang dijual di sekitar sekolah. Buku dan film porno mengajarkan teori dan cara bersanggama. Pemerintah diam saja, orangtua tidak mau menjelaskan. Ada perasaan risi membicarakan masalah seks dengan orangtua sendiri, padahal ini penting. Jangan sampai kita kebablasan,'' ujar remaja yang aktif di berbagai kegiatan itu.

Sedangkan Linda mengemukakan, selain orangtua selalu tutup mulut pada masalah seks, lembaga-lembaga pemerintah juga seolah tertutup. BKKBN misalnya, mungkin karena tidak enak dengan instansi lain, tidak menginformasikan secara terbuka tentang masalah seks kepada remaja selain program KB untuk pasangan suami-istri, ibu hamil atau melahirkan.
''Kaum remaja jadi lebih mudah terjerumus ke dalam pergaulan di luar batas norma dan agama. Orangtua saya selalu tutup mulut tentang seks, jadi kita menganggap seks hanya hubungan seks. Kita harus mengubah pemikiran orangtua. Sebab jika terjadi sesuatu pada diri kita, akhirnya orangtua juga yang susah. Semua jadi ikut repot, malu, marah, kecewa, saling menyalahkan,'' ujar Binti, aktivis remaja.

Pendidikan dan Informasi

Sedangkan Heri menyatakan, semua pihak harus melakukan tindakan nyata, minimal membuat program pendidikan dan informasi yang benar untuk memberi pengetahuan dan menandingi hal-hal buruk di masyarakat. Seks harus dibicarakan dalam wacana ilmu pengetahuan dan transparan. Informasi tentang seks bisa diberikan sesuai umur dan jenjang pendidikan.

Wuwun, remaja dari Yog-yakarta, meminta kepada kalangan pendidik dan orangtua untuk memperhatikan masalah ini. Menurutnya, tidak ada salahnya masalah seks diajarkan di sekolah maupun dalam pendidikan agama. ''Jangan hanya dilarang ini, dilarang itu. Ini dosa, itu dosa. Tapi tolong dijelaskan dengan benar, karena pergaulan dan masalah seks di sekitar kita makin tidak terkendali,'' ujar Wuwun dengan nada keras.

Sedangkan Anggi mengatakan, orangtuanya sangat demokratis dan terbuka sehingga bisa berdiskusi masalah apa pun termasuk kesehatan reproduksi dan seks. Gurunya pun ada yang bisa menjelaskan dengan baik. Bahkan guru agamanya bisa menjelaskan betapa mulianya manusia itu. Manusia terikat dengan norma-norma dan peraturan, kita juga harus menghargai perkawinan. Melakukan hubungan seks secara bebas atau sembarangan berarti tidak berbeda dengan hewan.
Pada dialog tersebut terungkap pula bahwa teknologi tidak bisa dicegah sehingga remaja harus memproteksi diri masing-masing. Para pendidik dan orangtua harus memahami dan memberi pengertian bahwa seks itu bukan berarti hubungan seks, tetapi berkaitan dengan komponen fisik dan psikis.


Banyak sekali masalah yang harus diketahui, termasuk fungsi organ tubuh, menstruasi, impotensi, frigiditas, proses pembuahan, kehamilan, hingga melahirkan.
Di beberapa negara tetangga, masalah seks diajarkan sejak usia dini. Di Australia misalnya, siswa sekolah dasar diberi penjelasan tentang fungsi organ tubuh, proses pembuahan serta kehamilan. Orangtua pun ikut menjelaskan. Hal ini bisa memperkuat rasa kasih sayang. (u)

Selamatkan Anak-anak dari PELACURAN!


Mereka beranggapan, anak-anak itu masih suci, tidak akan terkena penyakit-penyakit seperti PMS [penyakit menular seksual] atau terkena HIV. Miris. Agaknya kata ini yang pas untuk melukiskan maraknya pelacur anak-anak di sekitar kita. Betapa tidak, tanpa kita sadari ratusan ribu 'daun muda' (10-16 tahun) ikut meramaikan bisnis nikmat tapi 100 persen beraroma maksiat dan dilaknat itu.

Menurut penelitian sebuah yayasan sebagaimana dipaparkan pada seminar Pemberdayaan Anak dalam Situasi Khusus di Jabotabek pekan lalu, di Jakarta dan sekitarnya kini terdapat sekitar 150 ribu anak yang berprofesi sebagai pelacur [atau dilacurkan]. Di sisi lain, 30 persen pekerja seks komersial (WTS) di bawah umur 18 tahun. Para pelacur anak-anak itu dapat ditemui di lokalisasi resmi sampai hotel berbintang.

Yang 'mengenaskan', para pelacur anak-anak itu menjajakan dirinya dengan berpura-pura menjual kue dan minuman kecil di perempatan jalan atau lampu merah-lampu merah demi menghindar dari razia petugas. Mereka banyak mangkal di daerah Bongkaran Tanah Abang, Rawa Bebek, Boker, sepanjang bantaran kali dari Manggarai-Dukuh Atas, Kali Jodo dan Jatinegara. Ini belum termasuk di diskotek, panti pijat, losmen, hotel tempat wisata, bar, dan lainnya.

Merebaknya pelacuran anak di Ibukota dan sekitarnya ini mengundang keprihatinan berbagai pihak. Tak kurang dari Menneg Urusan HAM Hasballah M Saad, Ketua Komisi VI DPR KH Ma'ruf Amien, mantan Menperta Dra Tutty Alawiyah, Sekjen Dewan Dakwah Drs Hussein Umar, dan psikolog Dr Seto Mulyadi ikut memprihatinkan fenomena ini.
''Maraknya pelacuran anak ini bagi saya sangat memprihatinkan,'' ujar KH Ma'ruf Amien. Menurut ulama NU ini, banyak faktor mengapa pelacuran anak makin meningkat dewasa ini. Faktor itu antara lain himpitan ekonomi, dekadensi moral, sampai lemahnya iman seseorang. ''Jika iman seseorang sudah lemah, ini susah,'' paparnya.
Dilihat dari aspek agama, pelacuran termasuk perbuatan yang dikutuk oleh Allah. ''Agama kita sangat mengutuk hal ini,'' lanjut Kiai Ma'ruf.
Tapi, tak semua anak itu terjun ke dunia pelacuran atas kemauan sendiri. Banyak di antaranya justru terjerumus karena dipaksa oleh orang lain, bahkan oleh orang tuanya sendiri demi rupiah. ''Ada juga orang-orang yang moralitasnya rendah yang hanya mengeksploitasi anak-anak untuk kepentingan diri

sendiri,'' tandas Ma'ruf.

Menurutnya, pelacuran anak ini tak hanya menyalahi aturan agama. Tapi juga melanggar peraturan nasional, bahkan internasional. Konvensi ILO [Badan PBB untuk Urusan Buruh] yang baru-baru ini kita ratifikasi, misalnya, memuat masalah perlindungan anak termasuk perlindungan dari pelacuran.
Karena itu menurut Kiai Ma'ruf, di sini diperlukan tindakan tegas dari aparat agar anak-anak tersebut tak dieksploitasi. Law enforcement harus benar-benar ditegakkan oleh aparat keamanan. ''Harus ada upaya-upaya untuk perlindungan anak,'' tegasnya kepada Republika.
Perlunya perlindungan anak-anak ini juga disenandungkan psikolog Dr Seto Mulyadi. Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak Periode 1998-2001, ini menilai pelacuran anak melanggar hak anak itu sendiri.

Anak-anak, harus dilindungi dari berbagai eksplorasi baik secara ekonomi maupun fisik. Sehingga, bila sampai ada data yang menyebutkan terdapat ratusan ribu pelacur anak, hal itu menurutnya jelas merupakan pelanggaran. Apalagi sebagai negara yang turut meratifikasi hak anak sejak 1990 silam, Indonesia mestinya konsekuen dengan melaksanakan apa saja yang sudah disepakati itu.
Menurut Seto, sekurangnya ada empat hal penting yang menjadi esensi dari hak anak.


Yang pertama, hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Anak, misalnya, berhak untuk mendapatkan makanan yang sesuai dengan standar gizi. Namun, hal ini masih belum bisa dilaksanakan secara maksimal di sini.

Yang kedua, hak untuk tumbuh dan berkembang. Ini termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yanag layak, hak untuk bermain dan bergembira mengembangkan budayanya.

Ketiga, hak untuk mendapatkan perlindungan. Anak-anak berhak untuk mendapatkan perlindungan baik fisik maupun batinnya. ''Karena mereka adalah makhluk yang masih rentan,'' jelas Seto.

Keempat, hak untuk berpartisipasi dalam segala sesuatu yang menyangkut dunianya. ''Mereka berhak terlibat dan dilibatkan dalam urusan yang menyangkut dirinya,'' tutur penyayang anak ini.

Tapi mengapa, kini, pelacuran anak di Indonesia merebak? Menurut Seto, anak-anak itu terpaksa berprofesi sebagai pelacur karena alasan ekonomi. Kesulitan ekonomi keluarga menggiring anak-anak ke dunia hitam itu. ''Apakah mereka pelacur anak atau pelacur profesional, kebanyakan berawal dari himpitan ekonomi. Tapi, alasan seperti ini [untuk pelacur anak] sebetulnya tak boleh ada [tapi itu yang terjadi],'' tandas Kak Seto --demikian sapaan akrab Seto Mulyadi.

Lalu, apakah seiring dengan perjalan waktu --seperti juga pada pelacur dewasa-- mereka kemudian mulai 'menikmati' menjajakan diri ini? Seto menampik anggapan ini. Sebab, ''Pada dasarnya, sebagai anak nalurinya adalah bermain, belajar dan bersosialisasi. Jadi tak ada kenikmatan itu...'' Namun, sambung Seto, mereka sepertinya tak berdaya terperangkap oleh jaringan yang terus menempatkan mereka sebagai objek eksploitasi.

''Karena itu pemerintah harus melakukan tindakan yang lebih kongkret, lebih nyata dan profesional,'' tuntutnya. Ini bukan berarti selama ini pemerintah mengabaikan anak. Tapi, kata Seto, upaya yang bersifat terpadu memang harus segera dilakukan. Dan dalam hal ini, pemerintah yang memegang kendali.

Namun dari semua itu, yang paling penting dan mendesak untuk diselesaikan, menurutnya, yaitu mengusahakan agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Anak bisa digolkan di DPR. Rancangan yang sudah hadir 15 tahun silam, itu sampai sekarang belum bisa 'disulap' menjadi UU. Karena itu, lembaga yang dipimpinnya sangat berkepentingan agar UU itu bisa diwujudkan agar segala bentuk eksploitasi terhadap anak bisa dihentikan. Atau minimal bisa dikurangi.

Terpatri

Namun bagi, Koordinator Program Yayasan Kusuma Buana (YKB) Panca B Wibawa, faktor ekonomi bukan penyebab utama maraknya anak-anak menjadi pelacur. Sebab, banyak juga mereka yang terhimpit ekonomi namun 'selamat', tak menjerumuskan anaknya ke jurang penuh noda dan dosa itu.
Menurut Panca, faktor yang menjadi penyumbang terbesar adalah faktor historis. Faktor inilah agaknya yang bisa menjelaskan mengapa anak-anak di suatu wilayah tertentu di Indramayu, Cirebon, jalur Pantura, Banyuwangi, Blitar dan daerah lain, terjun ke dunia pelacuran. Anak-anak yang terjun dalam pelacuran ini, kata Panca, sudah terinternalisasi di sana. Jadi, ''Ada semacam spesialisasi wilayah.''

Menurut Panca, di daerah-daerah tersebut, anak-anak sudah sangat terbuka dengan fenomena ini. ''Mereka merasa itu hal yang biasa. Di Indramayu misalnya, sudah terinternalisasi budaya mereka ini sampai ke ibu-ibu dan anak-anak. Anak itu dianggap sebagai aset yang bisa membuat mereka makmur, membuat mereka bisa kaya,'' ujar Panca.
Nah, sebenarnya dari sinilah pintu gerbang pelacuran anak itu mulai terbuka. Panca menilai, ada semacam sosialisasi yang diberikan ke anak sejak mereka masih kecil. Jadi secara langsung atau tidak langsung anak-anak dibentuk supaya mereka tahu bagaimana bisa hidup senang atau hidup kaya dari cara-cara seperti itu. ''Faktor ini kemudian sangat terpatri pada anak sehingga mereka tumbuh kembang dengan pengaruh itu yang begitu kuat.''
Menurut Koordinator Konsorsium Pemberdayaan Anak itu, maraknya pelacuran anak tak semata-mata milik Jakarta dan sekitarnya saja. Bahkan tak cuma monopoli kota-kota saja. Di setiap tempat, pada sentra-sentra di mana uang bisa direguk, pelacur anak tumbuh subur. ''Di Busang yang baru calon saja, misalnya, sudah dikerubutin. Apalagi di Batam atau Freeport,'' ujar Panca. Konsumen mereka biasanya memang ada di sentra industri.

Lalu mengapa para pria hidung belang itu menggandrungi anak-anak? Ini tak lain karena mereka beranggapan, anak-anak itu masih suci, tidak akan terkena penyakit-penyakit seperti PMS [penyakit menular seksual] atau terkena HIV. ''Alasan ini yang ada dalam main frame mereka,'' tandas Panca yang kini aktif melakukan upaya-upaya rehabilitasi pelacur anak-anak ini.
Alasan lain mengapa pelacur anak disukai karena anak-anak mudah diatur. Om-om senang yang biasa memakai 'jasa' anak-anak beranggapan, para anak itu kurang begitu berdaya, sehingga mereka gampang mengaturnya.
Kendati begitu, sekali lagi Panca menjelaskan, faktor historislah yang membuat pelacur anak marak. Faktor-faktor lain seperti penipuan dan terpaksa karena himpitan ekonomi, itu terjadi di wilayah-wilayah yang tersamar, yang sulit terjangkau. Dan itupun persentasenya kecil. ''Kalau masalah faktor kemiskinan, toh kemiskinan itu bisa terjadi di wilayah mana saja, tapi apakah mereka melacurkan anak mereka?''

Menurut Panca, yang perlu diperhatikan sebenarnya adalah sudah adanya link seperti di Indramayu. Ciri khas mereka ini adalah faktor internalisasi tadi, serta kuatnya jaringan di antara broker, germo dan pengusaha. Jaringan ini, tutur Panca, bisa terjadi karena ada proses yang begitu lama sehingga mereka bisa menemukan jalurnya yang sudah mereka buat. Jadi untuk 'memerangi' fenomena ini, maka link inilah yang mesti kita putuskan.n rus/mag/hfi

KUTIPAN:
Rancangan yang sudah hadir 15 tahun silam, itu sampai sekarang belum bisa 'disulap' menjadi UU. Mereka sepertinya tak berdaya terperangkap oleh jaringan yang terus menempatkan mereka sebagai objek eksploitasi.

42 Persen Remaja Bermasalah Pernah Berhubungan Seks

Dari 117 Responden
42 Persen Remaja Bermasalah Pernah Berhubungan Seks


Jakarta, Kompas

Faktor-faktor negatif seperti merebaknya informasi bertema pornografi di media massa, kurangnya penanaman moral agama, dan adanya pengaruh pergaulan bebas, di samping kuatnya pengaruh hormonal pada para remaja, merupakan beberapa penyebab remaja melakukan hubungan seks.

Mengutip hasil survei yang dilakukan Chandi Salmon Conrad di Rumah Gaul binaan Yayasan Pelita Ilmu, Prof Dr Fawzia Aswin Hadis pada Simposium Menuju Era Baru Gerakan Keluarga Berencana Nasional, di Hotel Sahid Jakarta mengungkapkan, ada 42 persen remaja yang menyatakan pernah berhubungan seks; 52 persen di antaranya masih aktif menjalaninya. Survei ini dilakukan di Rumah Gaul Blok M, melibatkan 117 remaja berusia sekitar 13 hingga 20 tahun.

Lebih jauh tentang survei yang dilakukan beberapa bulan terakhir ini, Manajer Rumah Gaul di Blok M Mall dan Blok M Plaza, Widiyatna, yang dihubungi Kompas secara terpisah menjelaskan, responden adalah remaja bermasalah yang pernah singgah di tempat itu. Kebanyakan dari mereka atau 60 persennya adalah wanita. Sebagian besar dari kalangan menengah ke atas yang berdomisili di Jakarta Selatan.

Melalui fasilitas ini, YPI menyediakan layanan informasi kepada remaja yang datang, tentang kesehatan reproduksi termasuk tentang HIV/AIDS. Dari konseling dengan mereka, beberapa yang memerlukan tindakan medik lanjutan akan dirujuk ke rumah sakit.

Dari konsultasi dengan mereka, jelas Widiyatna, terungkap umumnya mereka dari keluarga broken home, pengguna obat-obatan dan menjalani pergaulan atau hubungan seks bebas. Pada 52 persen kelompok remaja yang masih aktif menjalani hubungan seks, umumnya sudah berprofesi sebagai pekcun atau remaja yang menjajakan diri pada "oom senang" atau siapa saja yang mau memberinya uang atau imbalan lainnya. "Ada beberapa di antara mereka yang sampai hamil namun semua diaborsi, dan mengidap penyakit kelamin." tambah Widiyatna

Rubrik ''curhat''

Hasil survei tersebut, lanjut Fawzia yang juga Guru Besar Psikologi UI sejalan dengan data yang terhimpun selama ia mengasuh rubrik "Curhat Info Aktual" di Kompas-selama Mei hingga Desember 1999. Dari 114 surat yang dijawab, 43 persen menyangkut hal yang berkaitan dengan masalah seks, mulai dari menonton film porno, khayalan tentang seks, petting, homoseksualitas, sampai pada hubungan seksual, kehamilan, dan pengguguran kandungan. Dari yang 43 persen itu, lebih dari setengahnya berisi pengakuan remaja yang telah melakukan hubungan seks. Remaja yang bermasalah pada perilaku seksnya ini tidak sedikit yang berasal dari daerah, bukan hanya di kota-kota besar.

Fawzia juga mengungkapkan, banyak remaja yang melakukan hubungan seks pranikah karena anggapan yang salah. Mereka yang berperilaku negatif itu berpandangan, jika menolak hubungan seks akan ditinggal pacarnya. Mereka juga merasa akan ditertawakan oleh teman jika menolak seks intim. Atau pandangan bahwa tidak ada yang mau berpacaran dengan orang yang menolak hubungan intim. "Anggapan yang salah ini dapat memperburuk kondisi kesehatan reproduksi remaja," tegasnya.

Mempersiapkan remaja dalam menjaga kesehatan reproduksi, lanjut Fawzia, tidak dapat dimulai pada saat seseorang mencapai periode itu. Pendidikan tentang kesehatan reproduksi harus dilakukan bertahap sejak usia dini, sesuai dengan tingkatan usia.

Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi menurut dia, sudah harus mulai diajarkan sejak TK dengan kadar yang sesuai. Sedangkan pada tingkat SLTP dan SLTA informasi yang diberikan sudah lebih pada hal-hal yang komprehensif, karena alat reproduksi mereka sudah berfungsi baik. (yun)
-----------

Virus Itu Bernama Pornografi


Pornografi bak virus. Ia mempunyai daya tular yang sangat tinggi. Dan media massa, khususnya media elektronik menjadi wahana penularan yang paling efektif. Ini karena, ''Mereka hanya berorientasi pada keuntungan belaka. Mereka sama sekali tak dilandasi oleh nilai-nilai moralitas,'' ujar pakar pendidikan Dr Arief Rahman.

Agar penyebaran virus pornografi itu tak makin meluas, menurut Arief, sebaiknya semua pihak melibatkan diri untuk melakukan penanggulangan. Lembaga-lembaga formal, LSM, ormas keagamaan, guru dan orangtua mesti secara intensif melakukan gerakan bersama-sama untuk bersepakat memerangi pornografi. Di samping itu, mereka juga mesti bersepakat untuk membuat standar baku mengenai moralitas.
Langkah ini perlu didukung oleh para sutradara, koreografer serta pihak lain yang rawan dengan peluang untuk membuat karya yang berbau porno. Mereka, termasuk para artis serta penarinya dituntut untuk berani bersikap tegas menolak setiap pesanan maupun skenario yang berbau pornografi. ''Saya kira ini agak efektif untuk mencegah penyebaran pornografi,'' papar Arief.
Lalu bagaimana dengan cara yang ditempuh oleh sekelompok pemuda yang langsung merusak tempat-tempat beraroma maksiat? Menurut Arief, cara seperti ini hendaknya dihindari. Kendati begitu, ''Untuk sementara waktu, saya juga setuju dengan cara-cara seperti itu. Namun, sebaiknya hal itu tak perlu terjadi, jika aparat keamanan bisa bertindak tegas.''

Arief mengingatkan, memerangi pornografi memerlukan proses yang lebih intensif. Paling tidak, menurutnya, ada empat tahapan yang perlu dilalui. Pertama, perlu adanya gerakan-gerakan informatif mengenai pornografi, terutama yang menyangkut nilai-nilai moralitas yang terkait dengan masalah tersebut. Kedua, perlu gerakan yang bertahap baik melalui pendidikan, seperti seminar, diskusi, serta lainnya.
Ketiga, perlu menciptakan gerakan-gerakan alternatif yang bisa dipakai untuk mengaktualisasikan diri bagi mereka yang tergolong rawan terhadap penularan virus pornografi. Keempat, memerlukan tindakan represif seperti pembuatan UU khusus, atau yang lain sehingga mempunyai daya tekan serta pengikat. ''Agar semua itu efektif dibutuhkan aparat yang tegas dan teguh pendirian sehingga tidak gampang tergiur oleh uang,'' tandasnya.

Pasif
Sementara itu pakar komunikasi dari Bandung, Dedy Djamaluddin Malik, menilai maraknya kembali pornografi belakangan ini tidak terlepas dari sikap masyarakat Indonesia secara keseluruhan yang meski menentang tapi bersikap pasif. Sikap ini dibuktikan dengan sedikitnya kasus pornografi yang dibawa ke pengadilan dan tidak dibangunnya isu besar mengenai penolakan terhadap pornografi oleh kelompok strategis seperti elit politik maupun media massa, misalnya dengan pembentukan //Media Watch//.
Untuk memerangi virus pornografi, menurut Dedy, dibutuhkan penentangan yang bersifat laten. ''Kelompok strategis yang ada di masyarakat harus diberdayakan secara jangka panjang. Selain itu, elit politik dan media massa juga harus membangun isu besar bersama untuk menolak pornografi,'' katanya.
Selain itu, lanjut direktur Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Bandung ini, masyarakat yang merasa dirugikan dengan maraknya pornografi bisa menuntut media yang menyebarluaskan pornografi itu ke pengadilan. ''Sensitivitas masyarakat dalam hal pornografi belum menggembirakan,'' paparnya.

Hal ini misalnya bisa dilihat dari jumlah kasus yang sampai ke pengadilan tidak sebanding dengan banyaknya kasus pornografi yang ada. ''Ini memang gambaran umum masyarakat di negara ini, di mana jika merasa dirugikan, termasuk oleh pers, dia tidak mau pergi ke pengadilan tapi lebih suka menyelesaikannya di bawah tangan. Seharusnya kalau masyarakat merasa dirugikan, ia bisa mengadu,'' paparnya.
Ia menambahkan, ketentuan mengenai pelanggaran susila itu ada di KUHP tapi penegakkan hukumnya memang masih lemah. Karena itu, pihak berwenang termasuk elit politik didesak untuk segera memikirkan masalah pornografi ini. ''Kalau kita perhatikan, selama ini masalah pornografi dan narkoba memang telah terlupakan, elit politik lebih suka mengurusi hal-hal yang berbau kekuasaan dan sifatnya jangka pendek. Padahal pornografi ini berdampak luar biasa bagi masyarakat. Kalau dia mengklaim diri untuk rakyat, isu ini harusnya diangkat,'' tegasnya.

Dedy menilai, maraknya pornografi memang tidak terlepas dari adanya permintaan dari masyarakat. ''Mereka yang menyukai hal-hal seperti ini bisa kita katagorikan sebagai masyarakat yang hidup dengan nilai-nilai abnormal atau memiliki //devian behaviour//, berperilaku menyimpang. Mereka memang mengambil sesuatu dari hal-hal yang bersifat modern dan global, tapi yang buruknya,'' ujar Dedy. Ia mengingatkan, kecenderungan macam ini tidak terlepas dari tidak optimalnya komunikasi, baik secara individu maupun sosial.

''Ada kesenjangan di antara generasi di mana orangtua membawa agenda sendiri dan para anak kemudian lebih dekat dengan kelompoknya yang kerap menawarkan pornografi ini,'' ujarnya seraya menambahkan, fenomena pornografi perlu diwaspadai karena hal-hal yang berbau seks sulit dilepaskan dari narkoba. Menurut Dedy, maraknya pornografi mengindikasikan masyarakat kita semakin permisif terhadap pengaruh global.

Tapi ia menolak kalau maraknya media pornografi dikarenakan angin kebebasan pers. ''Pornografi muncul dengan membonceng kemerdekaan pers saat ini. Ini bukan pers, melainkan penyimpangan terhadap kebebasan pers. Yang mengatakan ini karena kebebasan pers, sama dengan memutarbalikkan fakta. Kebebasan pers ini bukan tanpa hukum, sehingga di mana ada yang disfungsional harus mendapatkan sanksi. Saya curiga pemikiran demikian sama dengan hendak mengembalikan ketidakbebasan pers,'' ujarnya. Penulis:ira/mms