Saturday, April 30, 2005

Potret Kawula Muda: Sebuah Survei

Potret Kawula Muda: Sebuah Survei

REMAJA atau kawula muda adalah harapan bangsa. Di pundak mereka, masa depan dan cita-cita bangsa ini dipertaruhkan. Mereka dididik agar mengenal bangku sekolah, tahu sopan santun, bermoral, beragama, peduli lingkungan, peduli masa depan, dan segudang nilai-nilai positif lain. Tapi sebagaimana remaja umumnya, mereka tak lepas dari keceriaan dunia remaja
yang diakrabinya.

Dalam batas wajar, masa remaja sering meninggalkan kesan manis. Sekadar mejeng di mal memang bukan barang haram. Tapi tak sedikit di antara mereka yang "berjalan" terlalu jauh. Mereka menjadi lepas kendali. Hidup seolah hanya untuk kali itu. Buntutnya adalah kebablasan. Misalnya terjerat dalam pesta hura-hura ganja, putau, ekstasi, dan pil-pil setan lain.

Tak sedikit pula di antara mereka yang kemudian hamil di luar nikah. Jalan pintas lewat aborsi pun dilakukan, untuk melenyapkan jabang bayi yang belum mereka kehendaki. Jika sudah begitu, orangtua bakal mengurut dada. Salah bunda mengandung? Kurang perhatian? Terlalu dimanjakan? Atau karena pengaruh budaya Barat -yang bebas berpacaran hingga budaya kumpul kebo?

Jika demikian, bagaimana remaja kita menyongsong masa depan? Adakah mereka tetap berpikir: "Itu bukan urusan saya?" Atau dengan nada cuek mereka bilang: "Emang gue pikirin?" Penelitian di Jakarta, Medan, Yogyakarta, Surabaya, dan Ujungpandang oleh Gatra yang bekerja sama dengan Laboratorium Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, ini menjawab potret remaja tersebut.

Kami merekam pandangan mereka tentang norma sosial dan agama. Kami menguak
kepedulian mereka pada ekonomi dan budaya. Kami juga menyerap empati mereka, kerisauan mereka, terhadap persoalan remaja. Jajak pendapat yang dilengkapi reportase dan wawancara dengan para pengamat ini kami tuangkan sebagai Laporan Utama. Adakah di antara remaja itu putra-putri Anda atau akrab di sekitar lingkungan kita?

Widi Yarmanto
--------------------------------------------------------------------------------

Hura-hura Oke, Seks Bebas Boleh Juga, Politik No

Hasil survei memperlihatkan, remaja Indonesia cenderung bersikap apolitis dan apatis terhadap keadaan. Mereka lebih banyak memanfaatkan waktu untuk berhura-hura ketimbang melakukan kegiatan positif. Lebih dari itu, mereka bersikap permisif terhadap perilaku kebebasan seks.

TIGA hari tiga malam, empat gadis yang baru gede dan delapan pria -sebagian besar juga baru gede- berdisko sembari menenggak minuman keras. Tak hanya itu, mereka juga asyik masyuk dalam pesta pora seks. Pesta naudzubillah itu berlangsung di rumah bertingkat dua di Jalan Elangsari IV, Semarang. Dari 15 Desember pagi sampai 18 Desember pagi itu, anak-anak
manusia yang bukan suami-istri tersebut menabrak batas-batas susila yang berlaku di sekitar mereka.

Sejak pesta dimulai, masyarakat di sekitar lokasi sudah gerah. Tapi mereka belum bereaksi, kecuali hanya kesal mendengar dentuman musik disko dan tawa cekikikan. Raungan sepeda motor yang datang silih berganti membawa cewek membuat tidur malam warga setempat kacau-balau. "Kami sekeluarga benar-benar tak dapat tidur," kata Nyonya Mawardi, yang rumahnya persis di sebelah tempat pesta.

Singkat kata, pesta tiga hari tiga malam itu sangat mengganggu penduduk. Maka, 18 Desember dini hari, sekitar pukul 02.00, warga memutuskan untuk menggerebek rumah itu, setelah lebih dulu mengontak kepolisian. Tak ada kesulitan. Penggerebekan sukses dengan hasil mengejutkan. Di dalam rumah, mereka menemukan botol-botol minuman keras yang berserakan di lantai. Terlihat delapan lelaki tengah teler. "Seorang di antaranya berjalan
semponyongan dengan pakaian ala kadarnya," tutur seorang penduduk yang ikut menggerebek.
Para lelaki itu terhitung belia. Lima di antaranya berusia 17-19 tahun. Tiga lainnya berumur 22 tahun hingga 24 tahun. Semuanya warga Semarang. Lima orang pengangguran, seorang mahasiswa, dan dua lainnya sudah bekerja. Warga dan polisi juga menemukan empat cewek belasan tahun, seusia siswi SMP, yang tak mabuk tapi tampak begitu letih. Tiga di antaranya mencoba "menghilang" dengan bersembunyi di tempat jemuran yang berada di lantai
atas. Tiga dari mereka berumur 15 tahun dan masih duduk di bangku SMP. Seorang lagi menginjak usia 16 tahun, dan baru saja lulus SMP.

Mereka segera diangkut ke Kepolisian Kota Besar (Poltabes) Semarang untuk dimintai keterangan, dan wartawan dipersilakan ikut mendengarkan. Dari mulut mereka meluncurlah cerita di seputar pesta pora itu. Selaku tuan rumah sekaligus pemrakarsa pesta adalah Eko Suryanto, pengangguran jebolan sekolah menengah umum (SMU). Sebelum pesta berlangsung, ia "mengusir" ibu dan adiknya. Baru kemudian ia mengundang kawan-kawannya dan empat wanita teman kencan.

Wanita-wanita itu, kata mereka, ada yang sudah dikenal lama. Tapi ada juga yang baru dikenal malam itu di suatu tempat. "Saya berkenalan dengan Eko di Simpang Lima pada malam itu, lalu diajak pesta," kata Anita, nama samaran, yang baru kelas II SMP, seraya tersenyum malu. Simpang Lima adalah salah satu pusat keramaian di kota pesisir utara Jawa itu.

Selama pesta berlangsung, para prianya tak melupakan minuman keras merek Cong Yang buatan Semarang, yang dicampur dengan bir, Coca-Cola, dan Sprite. Tapi yang mabuk cuma laki-laki. Nah, bilamana rangsangan datang, mereka lantas memanggil para wanita untuk melakukan permainan "asoi". Kadang-kadang mereka "bertanding" satu lawan satu. Kali lain dua lelaki "mengeroyok" seorang cewek. Eko Suryanto, selaku tuan rumah, berhak
mencicipi semua wanita.

Dalam pemeriksaan, salah seorang cewek yang berwajah paling cantik, sebut saja namanya Milah, menuturkan, "Semua itu kami lakukan tanpa paksaan, mau sama mau." Rekan-rekannya juga membenarkan pengakuan tersebut. Setelah diperiksa polisi, empat perempuan ABG (anak baru gede) itu diserahkan kepada Balai Asuhan dan Penitipan Anak di Semarang. Sementara itu, para prianya cuma dikenai tindak pidana ringan, dan dilepas setelah
ditahan selama 1 x 24 jam.

Lho, kok enteng betul? Mengapa tak diproses ke pengadilan supaya diganjar dengan layak? "Tak ada alasan hukum untuk menjerat mereka. Kalau dijerat dengan delik pemerkosaan, nyatanya tidak ada yang merasa diperkosa. Kalau dijaring dengan tuduhan melarikan gadis di bawah umur, nyatanya tidak ada orangtua yang mengadu kehilangan anak perempuan. Perbuatan mereka dilakukan atas dasar suka sama suka," kata Letnan Kolonel Soenarko
Danuardatno, Kepala Poltabes Semarang.

Selain kasus di Semarang itu, simak pula kisah dua pasang remaja keturunan
Cina di Ujungpandang, November lalu. Pasangan pertama, panggil saja John, 20 tahun, dan Selvi, 14 tahun. Pasangan kedua, sebut saja George, 20 tahun, dan Ling Ling, 16 tahun. Mereka berempat ditemukan tewas di garasi Hotel Makasar Indah.

Menurut petugas hotel, mereka datang mengendarai mobil Kijang. Setiba di hotel, mereka langsung menyewa kamar dengan sistem short time untuk pemakaian selama enam jam. Setelah membayar sewa kamar, mereka keluar dulu. Tak lama kemudian mereka datang lagi, tapi tak langsung ke kamar, melainkan "iseng" dulu dalam mobil yang diparkir di garasi hotel. Mesin dan AC mobil dibiarkan tetap hidup, sedangkan jendela dan pintunya ditutup
rapat-rapat.

Malapetaka pun datang. Kira-kira pukul 01.00, satpam hotel menemukan mereka telah menjadi mayat. Menurut hasil pemeriksaan Pusat Laboratorium Forensik Cabang Ujungpandang, mereka tewas karena keracunan karbon monoksida yang berasal dari gas buangan mobil dan AC yang dihidupkan. Kasus di Semarang dan di Ujungpandang itu hanya contoh dari sekian banyak
kasus penabrakan nilai-nilai agama dan susila yang dilakukan sebagian remaja Indonesia. Para ustad, pendidik, orangtua, pejabat, dan siapa saja yang merasa prihatin telah lama meneriakkan kecemasan mereka terhadap menggejalanya kebebasan seks di kalangan remaja. Juga kecenderungan lainnya, seperti hura-hura dan mabuk-mabukan.

Kecemasan mereka memang beralasan dan memperoleh pembenaran dari berbagai
penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia. Tahun 1987, misalnya, tim dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia meneliti perilaku seks di kalangan siswa sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) di Jakarta dan Banjarmasin. Sebanyak 2% dari total responden menyatakan pernah bersanggama (koitus). Yang berciuman, meraba-raba, atau berpelukan gairah
sambil meremas-remas bagian tubuh tertentu (petting) lebih banyak lagi.

Kemudian, April 1995, tim dari Universitas Diponegoro, Semarang, dan Dinas Kesehatan Jawa Tengah juga meneliti perilaku seks di kalangan siswa SLTA.
Tim menyimpulkan, sekitar 10% dari 600.000 siswa SLTA di Jawa Tengah
pernah melakukan hubungan intim atau sanggama.

Menjelang akhir 1997, Gatra -bekerja sama Laboratorium Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (LIP FISIP-UI)- menjaring 800 responden remaja berusia 15-22 tahun di Jakarta, Yogyakarta, Medan, Surabaya, dan Ujungpandang. Penelitian itu dimaksudkan untuk mengetahui perhatian dan sikap para remaja terhadap masalah seks,
sosial politik, ekonomi, nilai-nilai agama, dan berbagai masalah aktual.

Secara umum mereka memiliki kepedulian terhadap persoalan-persoalan serius, seperti masalah sosial politik, ekonomi, korupsi, dan kesempatan kerja. Tapi kepedulian mereka lebih bersifat pasif, dalam arti tak terlalu tergerak untuk mengetahuinya secara lebih dalam. Apalagi berupaya menyalurkan aspirasi mereka dengan memasuki organisasi, semisal lembaga
swadaya masyarakat (LSM), organisasi kepemudaan, atau partai politik. Mereka memilih bersikap apatis pada keadaan.

Dari 800 responden itu, hanya 1,1% yang aktif dalam kegiatan LSM. Peminat
organisasi politik lebih kecil lagi. Yang menyatakan aktif di Partai Persatuan Pembangunan hanya 0,8% (6 orang), aktivis Golongan Karya 1,5% (12 responden), dan menjadi warga Partai Demokrasi Indonesia cuma 0,5% (4 orang). Tim peneliti lantas menyimpulkan, remaja saat ini bersikap "apolitis" -tak peduli pada masalah-masalah politik.

Data lain menunjukkan, mereka tak terlalu tertarik untuk memanfaatkan waktu dengan melakukan kegiatan-kegitan positif, seperti belajar atau membaca buku. Hampir 31% (246 orang) memilih mejeng di mal atau pertokoan, berhura-hura, menenggak minuman keras, mengkonsumsi obat terlarang, dan mementingkan kepuasan indrawi (hedonisme).

Tapi yang lebih mengejutkan, mereka menunjukkan sikap yang makin permisif (sikap serba boleh) terhadap perilaku seks "gaya modern". Sebanyak 45,9% (367 responden) memandang berpelukan antarlawan jenis adalah hal wajar, 47,3% (378 responden) membolehkan cium pipi, 22% tak menabukan cium bibir, 11% (88 orang) oke saja dengan necking alias cium leher atau cupang, 4,5% ( 36 responden) tak mengharamkan kegiatan raba-meraba, 2,8% (22 responden) menganggap wajar melakukan petting. Dan 1,3% (10 responden) tak melarang sanggama di luar nikah.

Anehnya, hampir semua responden (95%) menyadari sepenuhnya bahwa agama
merupakan pedoman untuk membentuk akhlak dan budi pekerti terpuji. "Memang bisa terjadi, seseorang yang memahami dan mempercayai kebenaran suatu nilai atau norma belum tentu mampu melaksanakan sebagaimana mestinya. Dan itu bukan cuma terjadi di kalangan remaja," kata Mahrus Irsyam, Kepala LIP FISIP-UI, yang memimpin penelitian ini.

Responden yang menolak berbagai kategori perilaku seks tersebut memang lebih besar. Tapi tim peneliti menduga, jumlah yang membenarkannya mungkin lebih besar. "Boleh jadi, mereka merasa malu dan rikuh untuk mengaku secara jujur," kata Mahrus Irsyam.

Karena hanya menjaring sebagian kecil dari sekitar 24 juta remaja -hitungan pemilih pemula dalam Pemilu 1997 yang berusia 17-22 tahun- hasil survei itu tentu tak mencerminkan pandangan dan perilaku seksual seluruh remaja Indonesia. Meski demikian, menurut Mahrus, penelitian itu setidaknya memberikan gambaran bahwa kebebasan seks gaya "modern" (baca: Barat) telah merambah negeri yang katanya sangat sopan ini.

Selama ini ada anggapan, sikap permisif terhadap kebebasan seks hanya berlaku di kota-kota besar seperti Jakarta. Asumsinya, kota besar sangat terbuka pada masuknya nilai-nilai dan kebiasaan "modern" dari negara-negara maju. Tapi asumsi itu telah dibantah oleh hasil penelitian Laboratorium Antropologi UI pada pertengahan 1997.

Penelitian yang dibiayai Ford Foundation itu menjaring 132 remaja berusia 12-24 tahun di Desa Begak, Sumatera Utara, sekitar 149 kilometer dari Medan, dan Desa Mandiangin, Kalimantan Selatan, kira-kira 50 kilometer dari Banjarmasin. Kedua desa itu dipilih karena secara tipologis berciri tradisional, dan warga setempat telah dipengaruhi kebudayaan kota.

Hasil survei ternyata juga mengagetkan. Responden dari Desa Begak mengaku terbiasa keluar rumah pada malam Kamis dan malam Minggu untuk berkencan di tempat-tempat gelap atau warung remang-remang. Harap diketahui, kemaksiatan, penjualan minuman keras, dan perjudian telah meresahkan masyarakat di Medan dan sekitarnya. Di tempat kencan itu mereka
melaksanakan kreativitas jari-jari dan bibir, dari meraba-raba sampai berciuman.

Survei di Desa Mandiangin yang berpenduduk 2.145 jiwa juga tak jauh berbeda. Para responden umumnya telah meninggalkan pacaran gaya lama: surat-suratan atau kirim salam tempel lewat teman. Mereka sudah pandai berciuman, meraba, berpelukan rapat-rapat, dan semacamnya. Bahkan sebagian tak menolak melakukan salip ruku -arti harfiahnya menyelipkan rokok di
bibir, tapi maksudnya berhubungan badan.

Berdasarkan hasil survei di dua desa itu, tim peneliti menyimpulkan bahwa pandangan seks bebas bukan cuma menggejala di kota besar, melainkan sudah menjalar ke desa-desa. "Sekarang ini praktis tak ada perbedaan signifikan antara perilaku seks remaja kota dan remaja desa," kata Irwan Martua Hidayana, waktu itu. Irwan adalah dosen Jurusan Antropologi FISIP-UI, yang memimpin penelitian itu.

Ternyata Profesor Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, guru besar Fakultas Psikologi UI, tak terlalu terkejut mendengar hasil penelitian itu. Tahun 1985, ia pun pernah melakukan penelitian di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Dalam hal berseks bebas, hasilnya kurang lebih sama antara penelitian di Jakarta, di Desa Begak, dan di daerah-daerah lain: 1,53% dari sekitar 300
responden remaja menghalalkan sanggama sebelum nikah. Yang oke terhadap ciuman, pelukan, raba-meraba sudah pasti jauh lebih banyak. Hasil penelitian itu kemudian dijadikan salah satu bahan untuk menyusun buku berjudul Psikologi Remaja, yang kini sudah diterbitkan.

Dalam buku itu Sarlito, antara lain, mencoba menjawab apakah sikap permisif terhadap perilaku seks berkorelasi dengan kemajuan di sekitarnya? Jawabannya tidak selalu. Ia lantas menunjuk survei-survei yang dilakukan di sejumlah negara maju dan negara berkembang. Data tahun 1984 memaparkan, 46% remaja putri dan 66% remaja putra Liberia, negara berkembang di
Afrika, pernah bersanggama. Bandingkan dengan penelitian di Amerika Serikat ini: data tahun 1979 menunjukkan, sekitar 46% remaja putri dan 69% remaja putra tak sungkan berkoitus. Sebaliknya di Jepang, yang sudah begitu modern, remaja putri yang pernah bersanggama cuma 8% dan prianya 42%.

Artinya, Sarlito menyimpulkan, tinggi rendahnya tingkat kecenderungan seks bebas di sebuah negara tidak melulu disebabkan faktor kemajuan ekonomi atau teknologi di sebuah negara. Penundaan perkawinan karena sekolah atau dibatasi oleh hukum dan munculnya alat-alat kontrasepsi -yang sebenarnya lahir karena kemajuan di bidang ekonomi atau teknologi- ikut mendorong perilaku itu. Penyebab lainnya adalah makin longgarnya pandangan masyarakat terhadap seks -ini pun lahir karena pengaruh kemajuan.

Menanggapi hasil penelitian Gatra, Sarlito tak sependapat bahwa meningkatnya kecenderungan permisif itu berjalan seiring dengan bertambahnya sikap apolitis dan apatis terhadap masalah politik. Di matanya, bukan cuma remaja yang bersikap begitu. "Bapak-bapak, ibu-ibu,
atau karyawan juga banyak yang apolitis dan apatis," kata guru besar Fakultas Psikologi UI itu.

Pendapat Tika Bisono, psikolog lulusan Fakultas Psikologi UI, kira-kira juga demikian. Pengetahuan masyarakat, khususnya remaja, terhadap masalah politik atau ekonomi memang dangkal. Tapi mereka tak bisa disalahkan, sebab mereka tak memperoleh informasi mengenai politik atau ekonomi secara jelas. Sajian yang mereka lihat hanya acara peresmian sebuah proyek, berita tentang seminar, atau penjelasan-penjelasan resmi pemerintah.

Acara diskusi di televisi juga masih bersifat sangat hati-hati. Sebaliknya, informasi tentang hiburan melimpah ruah dan begitu gamblang disajikan. "Tak aneh kalau mereka segera mematikan radio atau televisi yang menyiarkan berita-berita politik," kata Tika.

Ringkasnya, kata Dr. Endang Ekowarni, dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, faktor lingkungan -entah itu sistem politik, perilaku para orangtua, kekuasaan yang mengekang, pergeseran pandangan, dan sebagainya- mendorong remaja untuk melakukan perbuatan tak terpuji. "Lingkungan yang power full itulah yang menjadikan remaja lemah, tidak
dewasa, dan tak bertanggung jawab," ujar Endang.

Meski begitu, baik Sarlito, Tika, maupun Endang menolak penilaian yang bersifat menyamaratakan semua remaja. "Banyak remaja yang banting tulang mencari uang, bersusah payah belajar untuk berprestasi, hidup hemat, dan bermoral terpuji," kata Sarlito. Dan para pemerhati remaja ini menyarankan, bila ingin mengobati para remaja yang telanjur "rusak",
kondisi di sekitar mereka harus segera diperbaiki pula.

Priyono B. Sumbogo, Joko Syahban, dan Hidayat Gunadi

source: GATRA, Nomor 7/IV, 3 Januari 1998

Thursday, April 07, 2005

Sex In The Mall, Komoditas Komplit : Ayam abu-abu, Gigolo, Gay SampaiKaryawan Toko

Tanggal: Saturday, 27 December 2003 16:43Topik: No.38 Th.56 Minggu III Desember 2003

MAL itu bukan lagi cuma pusat belanja. Mal itu sebaya kafe, tempathiburan. Bisa mata yang terhibur, atau hati yang ternyamankan, tapibisa juga syahwat, kalau memang itu yang dicari. Pun di Yogya. Malbenar-benar menjadi "tempat serba-ada".

MP menemukan seorang perempuan yang mau diwawancarai (dan file-nya ada di redaksi), mungkin Anda pun sudah mengenalnya karena ia seringn geceng di lantai jajan. Selalu mengenakan tanktop sehingga tato'love' di lengannya gampang terlihat. Bawahannya celana hipster bawahpusar. Maka celana dalam cewek itu mengintip-intip di atas pantat.Rambut dia bercat merah."Saya dituakan di sini. Ada delapan cewek kalau mas mau menjamu tamu"kata perempuan 22 tahun ini."

Mal itu cuma buat pasang jerat. Tempat ini seperti etalase" katanyalalu melambai ke arah cewek lebih muda yang melintas di depan alatpermainan anak-anak. "Nggak usah pasang papan nama di jidat pun, orangpada tahu kalau dia itu ciblek".Gadis yang baru datang itu umur 18. Dia buktikan dengan memperlihatkankartu pelajar sebuah SMU swasta miliknya. Tapi mendengar kata-katayang keluar dari mulutnya, heboh juga : "Aku ini bukan orang sarkem.Nggak percaya, nih kartu pelajar aku! Tarif aku cuma cepek kok..."Kenapa dia menyebut sarkem atau Pasar Kembang? Karena dipenginapan-penginapan sekitar itulah, 'cewek badung' ini seringmengajak ML mangsa yang ia temukan di mal.


DULU Sex in the Mall sering diidentikkan karyawati toko bispak, atauSPG yang bisa dipakai. Seorang manajer toko menyayangkan jika isu'disko portabel' itu masih dipercaya masyarakat sekarang. "Merekaorang luar. Kalau diamati benar, orang-orangnya yang itu-itu saja.Tapi sejauh ini kita tidak bisa bertindak apa-apa" keluh pengusahaitu.Iya juga. Gadis-gadis nakal itu menghambur di tengah pengunjung. Samaseperti cowok-cowok muda yang melintas-lintas menyapa (dengan sopan)tapi menggoda, pada ibu-ibu yang belanja sendirian, atau bahkan kepadaoom-oom yang diduganya doyan 'batang muda'.Kalau ternyata yang disapanya 'orang baik-baik'?Ya nyantai aja mereka. Paling bilang, "sori" kemudian menghilang dibalik kerumun.Jika Anda termasuk hidung belang atau tante kesepian, hati-hati denganbilangan cepek. Karena di depan ngomongnya seratus ribu, 'dalamprosesnya' pengeluaran sangat bisa membengkak. Anda akan dimintatraktir makan ayam goreng, atau dia minta dibeliin baju dansebagainyan.(MP)


Orang Bodoh. Setiap orang bodoh bisa mengkritik, menyalahkan danmengeluh, dan kebanyakan dari mereka melakukan hal itu. (Lawrence G.Lovasik)

Menggugat Eksploitasi PSK - ABG

Oleh Tri Widati Wahyuningsih

Seorang pekerja seks komersial (PSK), sebut saja Bunga (13) merupakansalah satu dari 26 PSK yang beberapa waktu lalu terjaring di kawasanBongkaran, Tanah Abang, Jakarta Pusat (Indopos, 20/10). Bunga kinimasih di bangku SMP, yang mengaku melayani om-om karena diderakemiskinan, adalah salah satu dari sekian PSK anak di bawah umur diJakarta yang jadi korban eksploitasi seksual untuk tujuan komersial.

Yang lebih parah lagi, menurut Bambang Budi Setiawan dari YayasanKesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), selain dilacurkan di jalanan,anak-anak juga banyak dilacurkan di hotel-hotel dan tempat-tempathiburan. Hotel dan tempat hiburan di Jakarta serta kota-kota besarlainnya banyak digunakan sebagai tempat melacurkan anak-anak.Sementara hukum yang berlaku di Indonesia belum diimplementasikansecara maksimal untuk melindungi anak-anak dari komersialisasiseksual, karena masih terlalu banyak kasus perdagangan dan pelacurananak yang belum tersentuh hukum.

Kasus perdagangan dan pelacuran anak baru gede (ABG), beberapa waktulalu juga terungkap dalam persidangan di Pengadilan Negeri JakartaSelatan, Rabu (6/10). Para korban adalah sejumlah ABG dari siswi SLTPdi Manggarai, mereka dipaksa melayani om-om di Hotel Manggarai, HotelPondok Nirwana, dan Hotel Cempaka.

Pelaku, yakni Endah Peni Sulistianingrum (EPS) ditangkap polisi diJakarta (25/5) berdasarkan laporan masyarakat dan guru sejumlah ABGitu. Dalam sidang tersebut, Jaksa Penuntut Umum Manik Ara mendakwa EPS(27) terlibat dalam kasus penjualan dan pelacuran ABG, dan menilaipelaku telah melanggar Undang-Undang Perlindungan Hak Anak danmenjadikan perbuatan cabul sebagai pencaharian atau kebiasaan. EPSjuga didakwa telah mengomersialisasikan anak-anak berusia 13 - 14tahun sebagai PSK, meski mereka masih duduk di bangku SLTP.

Menurut angka resmi dari Suku Dinas Pembinaan Mental dan KesejahteraanSosial (Bintal Kesos) Jakarta Pusat, saat ini di wilayah Jakarta Pusatsaja, yang tercatat beroperasi sebagai PSK 602 orang. Dari jumlah itu,60 persen berusia belia (11 hingga 17 tahun). Data tentang jumlah PSKitu tentu tak perlu diperdebatkan. Sebab ada yang lebih penting untukdiwaspadai, yakni munculnya lokasi atau pangkalan baru bagi parapelacur itu. Pangkalan itu di kawasan bekas Bandara Kemayoran, takjauh dari lokasi Pekan Raya Jakarta. Di sana, rata-rata usia merekayang menjual diri masih muda-muda. Beberapa di antaranya mengaku,bahwa selama enam bulan terakhir beroperasi di lokasi baru ini, tidakpernah ada razia polisi sehingga para ABG-ABG PSK itu merasa lebihnyaman dan aman untuk bertransaksi dan melakukan "syuting film" adeganmaksiatnya di hotel-hotel.

Pelacuran ABG di hotel-hotel dilakukan oleh sindikat perdagangan anak.Berbeda dengan pelacuran anak-anak di jalanan, seharusnya sindikatyang melacurkan ABG di hotel-hotel dan tempat hiburan lain sudahlangsung ditindak karena kita telah memiliki Undang-UndangPerlindungan Anak. Eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) ini tidakmempunyai korelasi langsung dengan pengembangan pariwisata nasional.Undang-Undang Kepariwisataan No. 9 Th. 1990 dengan tegas menolaksegala bentuk perjudian dan perzinahan (wisata seks). Kenyataannya,jaringan kerja pariwisata banyak disalahgunakan oleh pihak-pihaktertentu untuk menyelenggarakan bisnis ESKA. Misalnya hotel-hotel,tempat hiburan malam, dan pusat relaksasi. Sebanyak 30 persenprostitusi di Indonesia dilakukan anak-anak, dan pelancong /turismerupakan salah satu pengguna bisnis ESKA yang cukup potensial.

Bagi para germo (mucikari), bisnis pelacuran ABG adalah sebuah ladang uang yang menggiurkan. Mereka umumnya tak keberatan mengeluarkan modal besar untuk investasi di bidang ini. Dalam bisnis PSK, investasiseorang germo tidak mengenal rugi. Karena, konsumen (lelaki hidungbelang) datang sendiri ke tempatnya. Bagi para germo, yang terpentingdalam bisnis ini ada "keahlian" mencari dan menyediakanpelacur-pelacur muda, cantik, bahenol, atau menarik atensi lelaki.Biasanya seorang germo memiliki rumah bordil lebih dari satu. DiJakarta, germo-germo kawasan Bongkaran misalnya, penanaman modal danmembuka usaha pelacuran tak hanya di satu tempat saja. Mengingatbisnis ini cepat menyedot keuntungan besar, mereka juga buka usaha PSKdi tempat lain. Metoda ini, selain mencari keuntungan lebih, jugamerupakan siasat untuk mensirkulasikan PSK binaannya. Hal tersebutberkenaan dengan animo pelanggan yang selalu menginginkan pelacur barudan cantik lagi muda.

Dalam budaya patriarki, seksualitas perempuan diletakkan di bawahdominasi pria, yakni demi melayani kebutuhan seksual pria dan menjadipelayan emosionalnya (Sex Money and Morality, by Thank-DamTruong).Terminologi ini nyaris sejalan dengan kedudukan para pelacurdi mata mucikari. Bagi germo, pelacur tidak memiliki hak melawan ataumembantah kata-katanya, maka apa pun perintah germo harus dilakukantanpa boleh mengajukan keberatan.

Prostitusi di Eropa praindustri misalnya, tidak hanya merupakanrespons terhadap persoalan-persoalan sosial-ekonomi wargametropolitan, tetapi juga ekspresi dari ambisi untuk memuaskan hasratlibido yang seharusnya dikendalikan seoptimal mungkin (ContemporaryStudies in Society and History, by Perry). Meningkatnya urbanisasi dikota-kota besar, instabilitas demografi, dan dislokasi ekonomiperempuan, telah membuka jalan bagi diterimanya manfaat sosial rumahbordil dalam dua hal. Yakni sebagai tempat berlindung kaum wanita yangtak memiliki tempat tinggal, sekaligus menyediakan para lelaki yangjauh dari istrinya untuk memuaskan libidonya.

Sebelum kita bergerak memberantas pelacuran, setidaknya kita harusmenelusuri lebih dulu alasan/motif mereka menjadi pelacur. Padadasarnya, motif mereka seragam: tuntutan ekonomi. Sebab itu, para PSKyang ditangkapi dan dibawa ke pusat rehabilitasi, selain diberipenyuluhan keagamaan, juga diberi pengetahuan tentang penyakitkelamin, bahkan harus diberi semacam kursus/ketrampilan sebagai bekalhidupnya setelah kembali ke masyarakat. Jika tidak, kemungkinan besarmereka menjadi PSK lagi.

Dalam menyiasati kompleksitas masalah PSKini, setidaknya ada lima argumen sosial yang harus dicermati.

  • Pertama, pihak aparat jangan hanya merazia pelacur di pinggir-pinggirjalan, di taman-taman kota, atau di lokalisasi liar semata, tetapijuga harus merazia para PSK kelas kakap, hostes, dan para wanitapanggilan. Sebab mereka sama bahayanya dengan pelacur jalanan.
  • Kedua, adanya kerja sama pihak berwenang (instansi terkait) untuktidak pernah lelah, terus-menerus mengon-trol, memberi pengarahan, danmerazia pelacur secara berkesinambungan.
  • Ketiga, pihak aparat harus bertindak tegas kepada lelaki hidung belangyang kedapatan sedang melakukan transaksi. Supaya mereka kapok, misaldiliput dengan kamera untuk tayangan televisi, menahannya, danmengabari pihak keluarganya.
  • Keempat, adanya dukungan dari seluruh warga masyarakat dan kaum ulamabahwa pelacuran benar-benar perbuatan melawan hukum.
  • Kelima, pihak aparat jangan bersikap diskriminatif dalam menanganimasalah PSK. Yang diciduk jangan hanya pelacur saja, tetapi jugamucikarinya, karena andil mereka sangat besar bagi timbulnya pelacuranJika germo dibiarkan, begitu lokalisasi Kramat Tunggak dihapus, merekamembuat rumah bordil lagi di tempat lain.

Para ABG yang terperangkap dalam pelacuran, bukan hanya bisa pasrah menjalani kehidupan yang kejam, tetapi mereka juga tak jarang harusberhadapan dengan orang-orang di sekitarnya yang gila libido, liar,dan sering tidak kenal belas kasihan.

Berbeda dengan buruh anak di sektor perkebunan atau pertambangan yangkebanyakan hanya berhadapan dengan jam kerja yang panjang dan bebankerja fisik yang berat. Bagi anak-anak yang dilacurkan, merekadiharuskan oleh germo untuk melakukan apa saja yang mesti dikerjakandengan dampak psiko-logis yang merusak jiwa dan masa depannya. Tanpaperlu dikaji lebih jauh di lapangan, mempekerjakan anak-anak sebagaiPSK, jelas merupakan perbuatan melawan hukum dan salah satu bentukkejahatan terburuk.

Konvensi ILO Nomor 182 dengan jelas menyatakan, pelacuran anak-anakharus dilarang dan dihapuskan, karena benar-benar telah melanggar hakanak, di samping risiko yang harus ditanggung mereka dinilai terlaluberat.


(Tri Widati Wahyuningsih, pemerhati masalah sosial-kemasyarakatan,alumnus Fakultas Sosial-Politik Universitas Gadjah Mada - 1985).

Lesbian dan Transgender

penulis : MilaBlü <kar_milablu@hotmail.com>
--------------------------------------------------------------------------------
Bagi rekan-rekan yang termasuk suka menyimak berita-berita seputar dunia L/G/B/T, baru-baru ini ada berita cukup heboh. Yaitu tentang perkawinan sejenis yang dikategorikan juga sebagai kasus penipuan. Awalnya perempuan yang berpenampilan layaknya seorang laki-laki tersebut tidak menyatakan dirinya sebagai perempuan. Setelah beberapa bulan pernikahan resmi (akad nikah & resepsi) dilakukan, baru ia mengungkapkan jati dirinya sebagai seorang perempuan (gilanya lagi si transgender ini menikahi beberapa perempuan hetero dari berbagai daerah).

Perempuan-perempuan hetero yang dinikahinya tentu saja kecewa bukan alang kepalang dan merasa ditipu… ternyata suaminya seorang perempuan bukan seorang laki-laki tulen. Dan akhirnya karena tidak tahan lagi hidup dalam perkawinan yang ‘non-habitat’nya, walau mendapat ancaman dari si *trannie, dua dari perempuan yang kena ‘tipu’ tersebut membeberkan kepada wartawan-wartawan dari beberapa majalah dan tabloid tentang kasus ini sekaligus memuat beberapa foto-foto si transgender serta foto-foto perkawinan mereka jelas-jelas.Majalah dan tabloid umum tersebut dibaca oleh masyarakat umum, dan yang langsung ada dibenak saya waktu membaca kasus tersebut adalah: label lesbian kembali tercoreng.

Selama ini masyarakat awam sudah kadung berasumsi bahwa perempuan yang berpenampilan seperti laki-laki mewakili komunitas lesbian. Jangankan masyarakat awam, kaum lesbian sendiri juga mungkin masih rancu untuk memahami antara lesbian dan transgender, karena selama ini tidak pernah ada upaya untuk memberi pengertian yang jelas tentang lesbian & transgender.

Transgender adalah istilah untuk kelompok:

  • Tampil sebagai wanita/perempuan namun terlahir berjenis kelamin pria (istilah lokal resmi: waria)
  • Tampil sebagai pria namun terlahir berjenis kelamin perempuan (istilah lokal resmi: belum ada - disini kita sebut saja *trannie).

catatan: transgender yang sudah menjalani operasi merubah jenis kelamin disebut: transsexual - contoh: entertainer kondang Dorce Gamalama) Kaum gay tidak dikategorikan sebagai waria, walaupun ada sebagian dari pria gay bergaya "sissy" atau "kemayu" (istilah lokal: "ngondek"), mereka tidak merasa dirinya sebagai perempuan dan tidak ingin menjadi perempuan.Diantara mereka ada istilah lokal: lekong yang berpenampilan cukup macho dan pewong yang berpenampilan “sissy/kemayu/ngondek”.

Dalam kelompok lesbian ada istilah butch (B) yang berpenampilan tomboy dan femme (F) yang berpenampilan feminine.Pada perkembangan selanjutnya muncul istilah "in the middle" atau populer dengan sebutan androgyne, disingkat andro (A), yaitu perpaduan tampilan antara butch dan femme. Lesbian tipe androgyne ini kemudian terbagi lagi, ada yang cenderung tomboy, maka muncul istilah andro butch (AB) atau populer dengan label soft butch (SB). Dan bagi yang cenderung ke feminine, maka diberi label andro femme (AF). Umumnya lesbian tipe androgyne ini lebih fleksible dalam hal memilih pasangan.(Ada juga istilah lokal: sentul & kantil, namun istilah lokal ini cenderung ke hubungan antara trannie dan perempuan heteroseksual atau biseksual, walau tidak semua disamaratakan).

Sama halnya dengan waria, seorang trannie tidak merasakan dirinya sebagai perempuan, melainkan laki-laki, hanya saja takdir mereka harus terlahir dengan tubuh perempuan (‘salah tubuh’). Oleh sebab itu seorang trannie berusaha semaksimal mungkin menyembunyikan ciri-ciri dasar yang dapat menunjukkan bahwa ia bertubuh perempuan. Misalnya, memakai pembebat dada agar buah dada tidak menonjol (dada rata).

Walau lesbian dan trannie memang sama-sama perempuan secara lahiriah, namun terdapat perbedaan psikologis:

Seorang lesbian, tidak mengingkari dirinya sebagai seorang perempuan, walau mungkin ia berpenampilan tomboy.

Seorang trannie, lahiriah memang perempuan, namun dia merasa sebagai seorang laki-laki yang ‘salah tubuh’ (ia tidak suka akan tubuhnya sendiri, merasa sangat malu/menderita waktu mengalami haid). Mereka berusaha semaksimal mungkin berpenampilan dan berperilaku seperti layaknya pria. Umumnya trannie memilih/mengejar perempuan dari kalangan heteroseksual atau bisexual yang feminine untuk dijadikan pasangan.

Seorang trannie pernah mengatakan kepada saya bahwa ia merasa kurang nyaman bila berpasangan dengan lesbian, karena lesbian cenderung menganggapnya sebagai seorang perempuan, bukan laki-laki seperti yang diinginkannya. Jadi tak heran bila incaran para trannie adalah perempuan dari kalangan non-lesbian. Saya pernah iseng ‘mewawancarai’ seorang teman (perempuan biseksual) yang menjalani hubungan dengan seorang trannie. Karena saya dan teman itu cukup akrab maka bertanyalah saya tentang ‘ritual ranjang’ mereka. Dari hasil ‘wawancara’ iseng tersebut, saya berbagi dengan para pembaca, agar mendapat sekilas gambaran tentang trannie.

Seorang trannie sangat malu dan tak nyaman dengan tubuhnya sendiri yang dikatakan ‘salah tubuh’, ia menolak untuk memperlihatkan tubuhnya dalam keadaan telanjang tanpa sehelai benangpun di hadapan pasangannya, bahkan waktu making love, seorang trannie merasa nyaman bila ia tetap mengenakan pakaian dalamnya (pakaian dalam pria, kata teman saya). Atau walaupun ia harus telanjang, keadaan kamar harus gelap agar pasangannya tidak melihat tubuhnya. Jangankan telanjang, disentuh atau diraba bagian tertentu tubuhnya saja ia merasa tak nyaman.

Teman saya bilang: “gue doang yang telanjang mulus dan di explore sana-sini, dia nggak mau gue explore.”

Trannie akan selalu mengambil peran aktif (dominan), dan pasangannya yang feminine tinggal menikmatinya saja explorasi-nya.

Bagi trannie dari kalangan menengah ke atas, adalah umum bila mereka melengkapi diri dengan dildo (beli di sex shop, tersedia beragam ukuran, model, warna). Alat bantu ini boleh dikatakan sebagai ‘main thing’ dalam ‘ritual ranjang’ seorang trannie bersama pasangannya, sebagai pengganti ’the thing’ yang yang tidak dimiliki seorang trannie.

Alat bantu ini dapat membuatnya merasa ‘lengkap/utuh’ sebagai ‘laki-laki’ terhadap pasangannya. Manakala ’the thing’ ini mulai dipergunakan sesuai fungsi terhadap pasangannya dalam ‘ritual tanjang’, maka imaginasi dirinya sebagai seorang ‘laki-laki’ semakin kuat, dan hal ini mampu memberikan sensasi ‘kepuasan’ tersendiri bagi seorang trannie. Menurut hasil ‘wawancara’, tatkala pasangannya tengah menikmati alat bantu tersebut sambil moaning, screaming (well, whatever ), konon si trannie juga bisa ikutan ‘ramai’ seperti menikmati hal yang sama.

Pernah ada berita tentang trannie dari kalangan bawah (yang tertangkap karena memalsukan jenis kelamin dan membohongi perempuan yang dinikahinya di hadapan penghulu, kisah ini pernah dimuat dalam sebuah majalah beberapa tahun silam). Ada satu hal yang bikin saya tertawa waktu membaca kisahnya, si trannie yang berasal dari kalangan bawah ini sampai bisa punya ide bikin dildo made in dewek dari potongan karet ban dalam (mobil?) yang digulung sehingga berbentuk bulat panjang, lalu digunakan terhadap pasangannya. (gila benerrrrr! -red)
Kesimpulannya adalah: obsesi seorang trannie ialah memiliki ‘the thing’ yang tidak dimilikinya.
Sedangkan seorang lesbian tidak terobsesi akan ‘the thing’ itu. Kalaupun ada lesbian yang menggunakannya, mungkin si lesbian punya pacar dari kalangan hetero atau biseksual (teman saya yang biseksual itu, terus terang bilang pada saya bahwa dapat lebih merasakan sensasi kepuasan orgasme bila dibantu dengan sex toy tersebut). Bilapun ada pasangan lesbian kadang mempergunakan sex toy hanya sebagai selingan sekedar berfantasi, atau mungkin hanya sekedar ingin coba/ingin tahu. Namun pada dasarnya lesbian tidak terobsesi dengan ‘the thing’.

Nah para pembaca sekalian, bila ada kasus seorang perempuan berpenampilan seperti laki-laki lalu bikin masalah dengan ‘penipuan’ jenis kelamin supaya dapat mengawini perempuan dari kalangan hetero, atau mengejar habis-habisan dan mengancam lalu melukai atau bahkan membunuh perempuan heteroseksual/biseksual yang telah membuatnya kecewa mendalam dan marah (telah menolak dirinya atau telah mengkhianatinya), jangan langsung memastikan dia lesbian.

Jadi sekali lagi perlu diterangkan bahwa:

  • Lesbian adalah lesbian, terlahir dengan jenis kelamin perempuan, tidak mengingkari diri sebagai perempuan. Preferensi hubungan: dengan sesama lesbian, namun tidak tertutup kemungkinan menjalin hubungan dengan perempuan biseksual atau heteroseksual yang ingin tahu, bila sama-sama saling menyukai.
  • Trannie adalah trannie, terlahir dengan jenis kelamin perempuan, menyatakan diri sebagai laki-laki. Preferensi hubungan: dengan perempuan heteroseksual dan biseksual yang berpenampilan feminine.

*********

Monday, April 04, 2005

FENOMENA ANAK-ANAK YANG DILACURKAN DI SUMATERA UTARA

Oleh : Ahmad Sofian

Anak-anak yang dilacurkan telah cukup menggejala di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan bahkan kota-kota yang kecil seperti Yogyakarta dan Surakarta. Masalah ini cukup memprihatinkan karena korbannya adalah penduduk yang dari sudut kematangan seksual belum dewasa. Mereka belum cukup mengetahui risiko dari hubungan seksual sehingga kehamilan dini dan penularan PMS (Penyakit Menular Seksual) dengan seluruh implikasinya dapat terjadi pada mereka. Prakktik itu juga dapat mempengaruhi perkembangan pribadi dan masa depan mereka

Masalah anak-anak yang dilacurkan merupakan masalah yang sampai hari ini belum terpecahkan. Pemerintah menganggap masalah ini adalah masalah kecil yang tidak begitu menganggu stabilitas dan atmosfer politik di Indonesia. Belum ada pemikiran pemerintah untuk menyusun program mengentaskan masalah ini. Pemerintah masih terlalu sibuk menyelesaikan konflik antar kepentingan yang sedang bermain. Sayangnya anak-anak terus saja dikirim ke ladang-ladang pelacuran apakah itu lokalisasi terselubung, hotel, karaoke dan sebagainya. Artinya korban demi korban terus saja berjatuhan sementara respon atas masalah ini masih sedikit yang memberikannya. Dalam masalah anak-anak yang dilacurkan ini banyak pihak yang terlibat dan menerima manfaat atas berlangsungnya bisnis ilegal ini. Namun bagi anak, hal ini sangat merugikan khususnya bagi masa depannya.

Anak-anak dijadikan pelacur lebih dikarenakan oleh permintaan pasar yang meningkat. Tingginya permintaan terhadap anak-anak terutama yang berusia 14-17 tahun karena mereka dianggap "suci" dari berbagai virus dan penyakit. Seorang mucikari yang berhasil menyediakan seorang gadis muda yang masih perawan maka dia bisa meraup untung jutaan rupiah untuk satu kali transaksi dengan seorang pelanggan. Dengan alasan-alasan ini pula maka mucikari dengan segala upaya berusaha mendapat "rumput muda". Upaya ini biasanya mereka lakukan secara terorganisir, dengan jalur-jalur yang tertutup-rapi, dan hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memasukinya.

Anak-anak yang di bawah umur lebih mudah dibujuk dan diming-imingi kesenangan dan pekerjaan, sehingga dengan gampang dijual ke lokasi-lokasi yang memerlukannya. Para pembujuk ini dalam istilah sindikat disebut "kolektor" beroperasi di pusat-pusat keramaian seperti mal, plaza bahkan sampai ke desa-desa. "Kolektor" ini biasanya sudah terlatih mengenali calon-calon mangsa yang gampang tergiur dengan tawaran sejumlah uang atau pekerjaan. "Kolektor" ini sendiri sebenarnya dipekerjakan oleh bos sindikat (mucikari/germo).

Pada Februari 1999 penulis pernah melakukan investigasi terhadap para "kolektor" di beberapa plaza dan mal di Medan. Hasilnya para calon korban, yang biasa mereka sebut ABG (Anak Baru Gede) yang umumnya berasal dari daerah pinggiran kota dan memiliki latar belakang keluarga menengah ke bawah. Mereka ini sangat mudah diajak ke tempat-tempat mewah dan jarang menolak ajakan trsebut. Setelah calon korban menerima ajakan tersebut "kolektor" membawanya ke tempat mucikari. Di sini "kolektor " akan mendapat tips yang besarnya sekitar Rp.100.000-Rp.200.000, tergantung pada kecantikan dan keperawanan si korban.

Dan ternyata begitu banyak dijumpai kasus anak-anak yang dilacurkan di Sumatera Utara. Anak-anak ini biasanya dikirim ke lokalisasi pelacuran di Pulau Sicanang, Belawan (Medan) dan Bandar Baru (Deli Serdang), Warung Bebek (Deli Serdang), hotel-hotel kecil di Medan bahkan sampai ke Pulau Batam (Riau).

Di Sumatera Utara faktor yang lebih banyak mempengaruhi munculnya anak-anak yang dilacurkan lebih dominan disebabkan oleh faktor penipuan oleh para sindikat penjual wanita yang berkedok sebagai perantara pencari kerja. Ini bisa dibuktikan dengan berbagai dokumen pemberitaan media massa yang mengungkap pengalaman anak-anak yang berhasil kabur dari "ladang pelacuran".

Insiden

Laporan investigasi wartawan Fokus (Fokus, 9-15 Desember1998) di lokalisasi Bandar Baru, Deli Serdang, Sumatera Utara menemukan ada sekitar 200-300 perempuan dipekerjakan dalam bisnis seks dan lebih dari setengahnya adalah anak-anak berusia berkisar 15-17 tahun. Seorang informan, sebut saja Nur (16 tahun) menyatakan bahwa dia dijanjikan akan dipekerjakan di Restoran Padang Bulan namun kenyataannya dia dijual ke Barak Naga, Bandar Baru. Sementara untuk kabur sangat sulit, karena ketatnya penjagaan.

Jumlah anak-anak yang ditemukan oleh investigasi wartawan tersebut bukanlah untuk membesar-besarkan masalah. Fakta adanya anak-anak yang dilacurkan ini diakui oleh Dinas Sosial Propinsi Sumatera Utara. Tahun 1998 ketika instansi ini melakukan pendataan terhadap pelacur di Sumatera Utara mereka menemukan anak-anak berusia di bawah 18 tahun sebanyak 281 orang "bekerja" ditiga lokalisasi yaitu Bandar Baru (Deli Serdang), Bukit Maraja (P. Siantar), dan Warung Bebek (Deli Serdang). Jumlah ini belum termasuk yang dijumpai di diskotik, dan pub yang mencapai 500 orang. Dinas Sosial propinsi Sumatera Utara mengakui masih banyak anak-anak yang dilacurkan yang belum terdata, atau cenderung memalsukan umurnya (Dinas Sosial Propinsi Sumatera Utara, 1999)

Anak-anak yang dilacurkan ini masih harus mengalami kekerasan. Kasus penyekapan dan penjualan 600 anak di bawah umur untuk dijadikan pelacur anak di Dumai, Riau yang terjadi pada bulan Maret 2000 lalu membuktikan fakta ini. Sebagian besar anak-anak yang disekap ini berasal dari Medan. Terangkatnya kasus ini disebabkan oleh tiga orang dari mereka berhasil diambil oleh keluarganya dengan membayar sejumlah uang untuk kebebasan mereka, dan selanjutnya keluarga salah seorang dari mereka ini mengadukan kasus ini ke polisi untuk dapat diusut lebih lanjut (Kompas, 26 Maret 2000).

Kasus yang hampir sama terjadi kembali pada 25 Maret 2000. Dua orang gadis muda berusia 15 tahun disekap dan nyaris terjual ke tempat pelacuran di pulau Batam. Penyekapan itu sendiri berlangsung di Medan dan kedua gadis tersebut berasal Tembung, pinggiran Medan. Untungnya keluarga korban mengetahui anak gadisnya disekap dan bersama kerabatnya yang polisi membebaskan kedua anak gadisnya. (Radar Medan, 27 Maret 2000).

Kasus yang menarik untuk diungkapkan kasus yang dialami oleh Fitriani (16 tahun) penduduk Jalan Letda Sujono Medan. Fitri gadis manis yang berkulit putih menceritakan pengalamannya ketika diajak ke Bandar Baru, kabupaten Deli Serdang untuk bekerja di rumah makan dengan gaji besar. Dia tidak tahu kalau Bandar Baru itu adalah lokalisasi pelacuran di Sumatera Utara.

Setelah permisi sama orang tuanya, Fitri pergi bersama tiga orang temannya yaitu Afrida (15 tahun), Kiki (16 tahun), Florida (16 tahun). Sesampainya di Bandar Baru Fitri sudah mulai curiga karena dia diinapkan di sebuah rumah yang didalamnya telah menunggu beberapa perempuan muda. Fitri ingin pulang tetapi tidak bisa.

Malam itu dia harus merelakan keperawannnya kepada pria turunan dan dibawa ke Bungalow Kumala Bandar Baru. Selama satu bulan Fitri dipaksa melayani setiap tamu yang mem-booking-nya. Dan selama satu bulan itu juga dia berhasil mengumpulkan uang sejumlah Rp. 2 juta.

Terbongkarnya kasus ini, setelah Florida (teman Fitri) hamil yang ingin makan martabak di Medan. Oleh mucikari Florida diizinkan turun ke Medan. Namun sampai di Medan dia mengadukan kasus ini ke orang tuanya dan ke kepolisian.

Orang tua Florida meminta agar germo/mucikari dihukum "Mereka harus dihukum berat dan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku karena sudah merusak masa depan anak saya", katanya.

Nasib anak-anak yang dilacurkan ini sangat tidak menyenangkan, ini terlihat dari kasus yang ada di Lokalisasi Bandar Baru, Deli Serdang. Anak-anak yang menolak perintah germo untuk melayani kebuasan nafsu para hidung belang yang datang, maka dengan garang germo akan menyiksa mereka malah ada yang sampai geger otak karena kepalanya dibenturkan ke tembok dan jadi gila ( Wanita Indonesia, Februari 1998).


Studi Pelacuran Anak

Di Indonesia sendiri studi yang telah dilakukan tentang anak-anak yang dilacurkan sangat minim sekali. Beberapa penelitian yang berhasil mengungkap masalah ini misalnya penelitian yang dilakukan oleh Irwanto dkk (1998) di Desa Bongas. Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Koentjoro (1989), Hull dkk (1997) dan Wibowo dkk (1989). Dari ketiga penelitian ini dapat disimpulkan bahwa munculnya anak-anak yang dilacurkan lebih banyak disebabkan oleh motif ekonomi dan budaya. Hull dkk (1997) menambahkan faktor pendidikan yang rendah, ketidaktaatan terhadap agama Islam. Malah di Indramayu orang tua ikut serta dalam semua proses ritual, pendidikan dan persiapan seorang anak menjadi pelacur. Orang tualah yang memberikan persiapan spriritual-mistis, menghubungkan dengan seorang germo, dan memastikan bahwa penghasilan anaknya tidak untuk dihambur-hamburkan. Mereka pula yang selalu mendoakan dan meramu sajian agar anak-anaknya memperoleh tamu yang banyak.

Bagong Suyanto (1999) juga pernah melakukan penelitian tentang anak-anak yang dilacurkan di Surabaya. Dari penelitiannya ini ditemukan bahwa penyebab masuknya anak-anak dalam pentas pelacuran lebih disebabkan karena faktor penipuan, pemaksaan dan ketidakmengertian mereka, bukan karena kesukarelaan mereka untuk memilih pekerjaan sebagai pelacur. Mereka tidak pernah berkeinginan atau bercita-cita untuk menjadi pelacur.

Penelitian lain yang perlu diungkapkan adalah apa yang dilakukan oleh Muhammad Farid (1999). Walaupun sebenarnya penelitian ini hanyalah sebatas pada kajian pustaka semata. Dari penelitian ini ditemukan fakta bahwa kasus anak-anak yang dilacurkan dari tahun ke tahun menunjukkan gejala peningkatan. Fakta-fakta dilapangan yang membenarkan argumentasi ini cukup signifikan. Dia mencontohkan dengan mengutip dari Majalah Gatra tanggal 7 Oktober 1995 ditemukan bahwa ada sekitar 250 anak dari Blitar (Jawa Timur) diperdagangka ke kompleks lokalisasi di Bukit Maraja, Sumatera Utara. Tahun berikutnya jumlah ini menjadi sekitar 300 orang. Dalam penelitian ini diungkapkan beberapa kota yang sering sekali menjadi lokasi pelacuran anak antara lain adalah Denpasar, Lombok, Pontianak, Medan, dan Batam. Daerah ini selain merupakan daerah tujuan wisata asing (Denpasar dan Lombok) juga secara geografis berdekatan dengan negara tetangga (Pontianak, Medan dan Batam).

Penelitian Farid ini menjadi indikasi yang cukup kuat untuk memberikan argumentasi bahwa kasus anak-anak yang dilacurkan menjadi kecenderungan yang perlu segera diwaspadai dan disikapi. Bila tidak, maka Indonesia akan menjadi jalur perdagangan anak internasional. Bila dikaitkan dengan penelitian sebelumnya maka ada tiga titik perhatian yang berbeda. Irwanto (1998), Hull (1997), Wibowo (1989) dan Koentjoro (1989) melihat pada aspek-aspek sosial budaya yang mempengaruhi munculnya pelacuran anak maka Bagong (1999) cenderung menitikberakan pada faktor-faktor yang menyebabkan anak-anak direkrut dan kemudian dilacurkan. Disini titik perhatian sudah mulai terfokus pada perdagangan anak walaupun Bagong sendiri tidak menyebutkan studinya sebagai studi trafficking. Semenetara itu Farid sudah memfokuskan pada aspek trafficking atau perdagangan anak, walaupun studi ini sendiri sangat lemah dengan informasi-informasi kwantitatif.

Penelitian-penelitian yang disebutkan di atas lebih mengarah pada penelitian eksplorasi atau pendalaman akan fenomena masalah anak-anak yang dilacurkan atau perdagangan anak. Penelitian tersebut belum diarahkan pada studi kebijakan yang mengungkapkan respon pemerintah dalam melihat fenomena perdagangan anak dan upaya-upaya yang sudah ditempuh oleh pemerintah dalam mengatasi atau mengurangi meluasnya permasalahan perdagangan anak.


Kekerasan dan Implikasinya

Anak-anak yang dilacurkan dimanapun berada baik yang berada di lokalisasi maupun di non lokalisasi acap kali menerima perlakuan-perlakuan yang tidak wajar. Perlakuan tidak wajar tersebut pada umumnya diberikan oleh orang dewasa. Hal ini terjadi akibat lemahnya posisi anak yang sering dianggap objek. Perlakuan yang tidak wajar tersebut biasanya terjadi dalam bentuk kekerasan maupun pelecehan seksual.

Bahwa kekerasan terhadap anak bertolak dari timpangnya hubungan sosial atau relasi sosial antara anak-anak dan orang dewasa, yang berakar pada budaya. Yang paling dominan adalah cara pandang orang dewasa terhadap anak, terutama sebagai objek yang lemah, Mereka --- anak-anak--- adalah orang-orang lemah yang bisa diperlakukan seenaknya.

Umumnya korban kekerasan seksual terhadap anak yang dilacurkan ini tidak hanya akan menderita akibat trauma fisik (misalnya cidera tubuh), namun terutama sekali akan menderita stres mental yang amat berat bahkan seumur hidup, yaitu apa yang dinamakan stres pasca trauma, sebab pada dasarnya kekerasan seksual itu lebih merupakan trauma psikis daripada trauma fisik.

Bila dikaitkan dengan anak-anak yang dilacurkan maka penyebab kekerasan adalah status sosial, sistem kerja yang unik yang tidak tergantung pada ketentuan yang umum tetapi tergantung pada germo dan perilaku pelanggan-pelanggan yang tidak waras. Bahkan dikarenakan mereka termasuk jenis kerja yang tidak diakui pemerintah, maka segala kekerasan yang mereka alami dianggap sebagai resiko yang hanya ditanggung oleh mereka sebagai konsekwensi dari hasil yang mereka lakukan.

Selain trauma psikis sebagai dampak kekerasan seksual, juga peluang tertularnya HIV/AIDS sangat besar bagi anak-anak yang dilacurkan. Mereka umumnya kurang paham akan arti pentingnya seks sehat. Para pelangganpun merasa yakin si anak adalah suci dari berbagai penyakit, dan tidak merasa penting untuk menggunakan kondom. Padahal peluang tertularnya HIV/AIDS terhadap anak-anak yang dilacurkan cukup besar, hal ini disebabkan karena mereka berada dalam posisi yang lemah, dan pasrah menerima keadaan yang tidak memihak ini.

Sampai saat ini memang belum diketahui data mengenai jumlah anak-anak yang dilacurkan tertular HIV/AIDS namun bila melihat resiko yang akan dideritanya maka cukup beralasan kalau keberadaan mereka dalam bisnis seks segera dihapuskan. Bila dibandingkan dengan negara-negara barat, orang dewasa yang melakukan hubungan seks dengan anak di bawah umur (meskipun atas dasar suka sama suka) dianggap melakukan tindak kriminal (melanggar hukum) dan dapat dijatuhi hukuman berat.

Indonesia tidak mengenal hukum seperti ini, karenanya praktik seperti ini dapat berlangsung secara leluasa, dan sejauh ini belum terdengar tindakan bagi hukum para pelakunya. Perlindungan hukum bagi anak-anak yang dilacurkan di Indonesia juga sangat lemah. Indonesia hanya memiliki KUHP warisan Belanda. Peraturan lainnya yang bisa menjerat para sindikat tidak ada sama sekali. KUHP sendiri dalam memberikan sanksi pidana kepada para pelaku atau sindikat anak-anak yang dilacurkan sangat lemah dan tidak berpihak pada korban. KUHP juga sudah sangat ketinggalan dalam memberikan batasan umur anak, yaitu di bawah 15 tahun, sementara kecenderungan internasional adalah di bawah 18 tahun.

Disamping itu lemahnya penegakan hukum terhadap penjualan anak -anak dalam sindikat bisnis pelacuran lebih disebabkan adanya faktor kolusi antara mucikari/germo dengan aparat keamanan. Kolusi ini sudah berlangsung cukup lama sehingga untuk dapat menanggulanginya diperlukan kerjasama dengan berbagai pihak untuk melakukan tekanan terhadap pemerintah. Dukungan internasional dalam rangka menekan pemerintah Indonesia sangat efektif dalam memberantas sindikat penjualan anak-anak dalam bisnis pelacuran.


*) Penulis adalah Sekretaris Eksekutif Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) :
Alamat : Jln. Mustafa No. 30 Medan (20238), Sumatera Utara,
email : pkpa@medan.wasantara.net.id

Pentingnya Hujan Pujian Saat Pemanasan

Kiat Seks Sehat
PENTINGNYA HUJAN PUJIAN SAAT PEMANASAN

Semua aktivitas seksual menjadi sehat sepanjang dilakukan dengan benar dan melalui aturan tepat. Bagaimana dan apa saja yang harus diperhatikan?

"Bicara aktivitas seksual, tidak ada patokan tertentu soal berapa kali, berapa banyak, atau berapa lama melakukannya. Pasalnya, setiap pasangan memiliki aturan main berbeda-beda," jelas dr. Ferryal Loetan, ASC & T, Sp.RM, Mkes.-MMR, konsultan seks sekaligus Kepala Humas Rumah Sakit Persahabatan, Rawamangun, Jakarta.

Yang penting, ada 3 kunci yang harus dikuasai. Pertama, pasangan harus mengerti aktivitas seksual yang dibutuhkan kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan). Kedua, sama-sama menginginkan tanpa unsur paksaan dan ketiga, dilakukan dengan senang untuk memperoleh kepuasan. Nah, jika ketiga syarat ini terpenuhi, berapa kali, berapa banyak, atau berapa lama dilakukan, tak masalah.

KLIK - Detail Di samping 3 syarat tadi, aktivitas seks sangat berkaitan dengan faktor psikologis. Misalnya, aktivitas seksual pasangan muda yang baru menikah, tentu sangat berbeda dengan yang sudah puluhan tahun menikah. "Ini bisa karena faktor kejenuhan, kurang variasi ataupun sesuatu yang diharapkan. Akibatnya, frekuensinya berkurang. Lebih parahnya, aktivitas seksual menjadi sesuatu yang lebih dipaksakan, tidak menyenangkan, apalagi memuaskan."

Kondisi fisik juga harus betul-betul dijaga. Sebab, dalam melakukan aktivitas seksual, kalori yang kita keluarkan sangat besar. Perbandingannya, satu kali berhubungan seksual sama dengan bertanding tenis dua set langsung. "Artinya, membakar lebih dari 3.000 kalori. Bisa dibayangkan jika sehari beberapa kali melakukan, berapa energi yang terkuras?" Apalagi yang harus diperhatikan agar seks sehat bisa tercapai?

FOREPLAY? HARUS!
Aktivitas seksual sebaiknya dilakukan mengikuti kaidah-kaidah tertentu, mencakup tahapan foreplay, intercourse, dan afterplay. Bagi wanita, tahapan foreplay-lah yang paling menentukan keberhasilan aktivitas seksual. "Foreplay adalah tahapan pemanasan yang dilakukan kedua belah pihak sebelum masuk ke tahapan intercourse. Ini penting karena sangat membantu membangkitkan gairah seorang wanita. Psikologis wanita sangat berbeda dengan pria. Seorang wanita butuh suasana yang romantis dan menyenangkan untuk bisa membangkitkan gairah seksualnya," jelasnya lagi.

Mulailah dengan oral communication, mengutarakan hal-hal mesra dan hujani pujian ke pasangan. Seperti 'aku sayang kamu', 'kamu sangat cantik', 'tubuh kamu bagus', dan seterusnya. "Dengan memuji penampilan, terutama mereka dengan tingkat percaya diri yang rendah, akan memberikan kepercayaan tambahan dan memberi alasan yang baik baginya untuk habis-habisan melakukan foreplay," ujar Ferryal.

Langkah berikutnya, mengatur mood dengan memperhatikan hal-hal yang bersifat romantis. Ciptakan suasana yang nyaman, kamar cukup hangat, lampu sedikit remang, dan alas tidur bersih. Jangan lupa untuk membuka pakaian pasangan Anda agar foreplay berjalan sukses. Banyak yang bilang, membuka pakaian dapat membangkitkan gairah !
Kemudian masuk ke tahapan manual communication yang melibatkan fisik. Seperti meraba, memeluk, berciuman, stimulasi titik rangsang, hingga perabaan daerah alat kelamin. Berapa lama sebaiknya foreplay dilakukan? Tak ada batasan waktu tertentu. "Bisa berjam-jam, tapi bisa juga hanya beberapa menit."

Beberapa tanda fisik yang memperlihatkan kesiapan wanita melakukan intercourse antara lain payudara mengencang karena pembuluh darah di sekitarnya melebar, puting susu mengeras dan menonjol keluar, terjadi pembasahan di daerah vagina yang disebabkan keluarnya cairan vagina. Lalu, mulai menumpuknya darah di vagina menyebabkan bibir kecil vagina (labia minor) membuka dan dengan sendirinya liang vagina juga mengendur. "Artinya, pasangan siap memasuki tahap intercourse. Dari segi medis, normalnya berlangsung antara 7 sampai 9 menit," tutur Ferryal.

AFTERPLAY JUGA PENTING

Tak jarang, pria menganggap aktivitas seksual berakhir begitu ejakulasi, lalu dengan seenaknya mereka berbalik badan kemudian mendengkur. Sementara si wanita langsung ditinggal begitu saja, tanpa pernah mau tahu apakah ia mengalami orgasme atau tidak. "Memang betul, ejakulasi membuat pria mengeluarkan banyak tenaga dan kalori. Badan pun jadi lemas dan capek. Tapi seperti halnya olahraga, setelah pemanasan, kita perlu juga pendinginan," tambah Ferryal.

Nah, di sinilah perlunya tahapan afterplay. Cobalah lakukan relaksasi usai berhubungan seksual dengan cara berbagi perhatian dan kasih.

Misalnya, dengan saling bertatapan mesra, berpelukan di tempat tidur, dan berciuman dengan penuh kasih sayang. Yang tak kalah penting, seperti juga foreplay, "Jangan segan-segan memberikan kata-kata pujian yang manjur kepada pasangan. Misalnya, 'Wah kamu memang istri/suami yang hebat'."

REMAJA DAN HUBUNGAN SEKSUAL PRANIKAH

ARTIKEL LEPAS/INTISARI MARET 1997
Dra. Yulia S. Singgih Gunarsa
REMAJA DAN HUBUNGAN SEKSUAL PRANIKAH

Remaja kota kini semakin berani melakukan hubungan seksual pranikah. Nampaknya hal itu berkaitan dengan hasil sebuah penelitian, 10 - 12% remaja di Jakarta pengetahuan seksnya sangat kurang. Ini mengisyaratkan pendidikan seks bagi anak dan remaja secara intensif terutama di rumah dan di sekolah, makin penting.


Pengetahuan yang setengah-setengah justru lebih berbahaya ketimbang tidak tahu sama sekali. Kata-kata bijak ini nampaknya juga berlaku bagi para remaja tentang pengetahuan seks kendati dalam hal ini ketidaktahuan bukan berarti lebih tidak berbahaya. Data yang dikumpulkan dr. Boyke Dian Nugraha, DSOG, ahli kebidanan dan penyakit kandungan pada RS Dharmais, menunjukkan 16 - 20% dari remaja yang berkonsultasi kepadanya telah melakukan hubungan seks pranikah. Dalam catatannya jumlah kasus itu cenderung naik; awal tahun 1980-an angka itu berkisar 5 - 10%.

Sementara itu Dra. Yulia S. Singgih Gunarsa, psikolog dan konselor di sebuah sekolah swasta di Jakarta, juga melihat fenomena banyaknya pasangan remaja yang berhubungan dengan calo jasa pengguguran kandungan di Jakarta Pusat dan penggunaan obat-obat pencegah kehamilan.

Data tersebut mungkin tidak mewakili kenyataan sebenarnya, yang bisa menunjukkan angka lebih tinggi atau lebih rendah. Namun setidaknya kasus hubungan seksual pranikah itu ada hubungannya dengan hasil suatu penelitian para dokter di Jakarta. Seperti dikutip Boyke, 10 - 12% remaja di Jakarta pengetahuan seksnya sangat kurang.

Dalam kaitan dengan hubungan seksual, bisa diambil contoh ada remaja yang berpendapat, kalau hanya sekali bersetubuh, tidak bakal terjadi kehamilan. Atau, meloncat-loncat atau mandi sampai bersih segera setelah melakukan hubungan seksual bisa mencegah kehamilan.

Pengetahuan seks yang hanya setengah-setengah tidak hanya mendorong remaja untuk mencoba-coba, tapi juga bisa menimbulkan salah persepsi. Misalnya saja, berciuman atau berenang di kolam renang yang "tercemar" sperma bisa mengakibatkan kehamilan, mimpi basah dikira mengidap penyakit kotor, kecil hati gara-gara ukuran penis kecil, sering melakukan onani bisa menimbulkan impotensi.

Beberapa akibat yang tentunya memprihatinkan ialah terjadinya pengguguran kandungan dengan berbagai risikonya, perceraian pasangan keluarga muda, atau terjangkitnya penyakit menular seksual, termasuk HIV yang kini sudah mendekam di tubuh ratusan orang di Indonesia. Bandingkan dengan temuan Marlene M. Maheu, Ph.D., psikolog yang berpraktek di Kalifornia, AS, bahwa setiap tahun terdapat 1 dari 18 gadis remaja Amerika Serikat hamil sebelum nikah dan 1 dari 5 pasien AIDS tertular HIV pada usia remaja.

Dibentak ortu
Melihat kenyataan itu, pendidikan seks secara intensif sejak dini hingga masa remaja tidak bisa ditawar-tawar lagi. Apalagi mengingat, "Sebagian besar penularan AIDS terjadi melalui hubungan seksual," tegas Boyke yang juga pengasuh rubrik konsultasi seks di majalah dan radio. Kalau tidak, mereka yang kini remaja tidak bisa berbuat banyak saat memasuki usia produktif di abad XXI mendatang.

Seperti dikutip Boyke, survai oleh WHO tentang pendidikan seks membuktikan, pendidikan seks bisa mengurangi atau mencegah perilaku hubungan seks sembarangan, yang berarti pula mengurangi tertularnya penyakit-penyakit akibat hubungan seks bebas.

Disebutkan pula, pendidikan seks yang benar harus memasukkan unsur-unsur hak azasi manusia. Juga nilai-nilai kultur dan agama diikutsertakan di dalamnya sehingga akan merupakan pendidikan akhlak dan moral juga. Dengan itu diharapkan angka perceraian yang berdampak kurang baik terhadap anak-anak pun dapat dikurangi.

Hanya yang jadi soal hingga kini, "Pendidikan seks di Indonesia masih mengundang kontroversi. Masih banyak anggota masyarakat yang belum menyetujui pendidikan seks di rumah maupun di sekolah," tutur dr. Gerard Paat, kolsultan keluarga RS Sint Carolus.

Sekalipun untuk tujuan pendidikan, anggapan tabu untuk berbicara soal seks masih menancap dalam benak sebagian masyarakat. Akibatnya, anak-anak yang berangkat remaja jarang yang mendapat bekal pengetahuan seks yang cukup dari ortu (orang tua). Padahal tidak jarang para remaja sendiri yang berinisiatif bertanya, tapi justru sering disambut dengan "kemarahan" ortu. "Boro-boro mau ngejelasin soal seks, baru nanya sedikit aja, nyokap (ibu) sudah mbentak, 'Eh itu tabu, jangan diomongin!'" aku seorang remaja putri.

Bahkan anak-anak yang kedua orang tuanya bekerja rata-rata kehilangan panutan. "Orang tua yang mestinya menjadi tokoh panutan utama, justru kurang berperan karena kesibukan mereka sendiri," kata dr. Paat, yang sejak akhir tahun 1960-an memberikan penyuluhan seks di sekolah dan luar sekolah.

Film, buku, dan motel
Dampaknya tentu bisa ke mana-mana. Antara lain dalam memilih konsumsi tontonan di TV yang masih berat dengan tayangan film barat dengan budaya dan gaya hidup yang berbeda. Kehidupan dunia barat yang digambarkan dalam film ataupun video, menurut Boyke, sering kali menunjukkan kehidupan seks bebas di kalangan remaja. Tayangan serial macam Beverly Hills atau Bay Watch, Boyke menyebut contoh, dengan bintang-bintang molek dan tampan itu mudah sekali merasuk ke dalam benak remaja. Sehingga mereka bisa amat mudah meniru gaya hidup muda-mudi dalam film itu.

"Justru ketika informasi seperti itu tidak bisa kita hindari, peranan orang tua untuk memberikan pengertian yang benar pada anak-anak menjadi penting," tutur Boyke.

Minimnya pengetahuan seks masih ditambah lagi dengan mudahnya mendapatkan prasarana untuk melakukan seks bebas seperti di motel, cottage, vila; alat kontrasepsi; lebih mudanya rata-rata gadis mendapatkan haid (9 - 11 th); serta tertundanya usia perkawinan. Semua itu juga faktor yang ikut mempengaruhi remaja melakukan kegiatan seks bebas dan kumpul kebo.

Celakanya, "Remaja yang sudah terbiasa mengadakan hubungan seksual akan sulit menghentikannya," jelas Paat. Itu bukan semata-mata karena faktor ketagihan, tapi terutama akibat timbulnya persepsi bahwa melakukan hubungan seksual sudah merupakan hal biasa.

Dr. Gerard Paat
Kalau itu sampai terjadi, ortu harus ikut bertanggung jawab. "Orang tualah yang seharusnya pertama-tama memberikan pengetahuan seks bagi anak-anaknya. Informasi seks dari teman, film, atau buku, yang hanya setengah-setengah tanpa pengarahan, mudah menjerumuskan. Apalagi kalau si anak tidak tahu risiko melakukan hubungan seksual pranikah," kata Boyke.

Menurut Paat, pendidikan seks pasif, karena tanpa komunikasi dua arah semacam itu, sudah bisa mempengaruhi sikap serta perilaku seseorang. "Dalam pendidikan seks anak tidak cukup hanya melihat dan mendengar sekali-dua kali, tapi harus dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan," katanya. Sebab itu, pendidikan seks hendaknya menjadi bagian penting dalam pendidikan di sekolah. Orang tua dan pendidik wajib meluruskan informasi yang tidak benar disertai penjelasan risiko perilaku seks yang salah.

Namun, pendidikan seks di sekolah mestinya hanya pelengkap pendidikan seks di rumah. Bukan justru menjadi yang utama seperti terjadi selama ini, kendati pendidikan seks di sekolah, menurut beberapa pengamat tadi, masih belum optimal.

Pacaran jangan dilarang
Pemberian pengetahuan seks mesti di rumah dilakukan sejak dini dan dimulai dengan perilaku keseharian anak-anak. Ketika masih anak-anak misalnya, berikan pengertian kepada mereka agar tidak ke luar dari kamar mandi sambil telanjang, menutup pintu kamar mandi ketika sedang mandi, mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk kamar ortu.

Ketika sudah menginjak bangku SD, remaja putri khususnya, mesti sudah dipersiapkan menghadapi masa akil balik. Pada usia sekitar 14 tahun, remaja putri maupun putra rata-rata mulai ingin tahu segala sesuatu tentang lawan jenisnya. "Ini merupakan proses pendewasaan diri, dan tak bisa dicegah," tegas Boyke. Di sinilah ortu mesti mulai lebih sering mengadakan pendekatan dan memasukkan nilai-nilai moral kepada anak.

Pada saat mereka mulai berpacaran di usia yang sudah cukup, kata Boyke, tak perlu dilarang-larang. Berpacaran merupakan latihan pendewasaan dan pematangan emosi. Dengan berpacaran mereka bisa merasakan rasa rindu atau rasa memiliki, dan berlatih bagaimana harus ber-sharing dengan pasangan. Pada masa ini orang tua remaja putri hendaknya berperan menjadi teman berdiskusi sambil meneliti siapa pacarnya itu.

Dalam hal ini dibutuhkan komunikasi lebih terbuka antara ortu-anak. Melalui komunikasi, yang acap kali banyak diabaikan peranannya, ortu dapat memasukkan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Misalnya, batas mereka boleh bermesraan dan apa konsekuensinya kalau batas itu dilanggar. Kepercayaan dari ortu akan membuat mereka lebih bertanggung jawab.

Berpacaran secara sembunyi-sembunyi akibat tidak diberi kepercayaan justru tidak menguntungkan. "Ingat, kasus-kasus kehamilan pranikah umumnya dilakukan oleh mereka yang back street," kata Boyke. "Mungkin juga akibat hubungan dengan orang tua kurang akrab atau orang tua terlalu kaku."

Dr. Paat maupun dr. Boyke menyatakan, penjelasan mengenai risiko melakukan hubungan seksual pranikah perlu ditekankan. Umpamanya, kehamilan, kemungkinan terinfeksi HIV atau tertular penyakit kelamin kalau bergonta-ganti pasangan. Bila terjadi kehamilan dan kandungan terpaksa digugurkan, mereka menghadapi kemungkinan perdarahan, infeksi, kemandulan, bahkan kematian. Belum lagi stres atau rasa berdosa yang bakal dihadapi si anak. Juga diingatkan, dengan anak yang mereka lahirkan di luar nikah, mereka juga yang mesti bertanggungjawab sebagai ayah dan ibunya. Jangan lupa pula, "Jagalah agar jiwa mereka tidak banyak terganggu, apalagi selama mereka masih belum dewasa, masih harus sekolah, dan lain-lain," tambah Yulia.

Kapan saja, di mana saja
Penjelasan yang baik mampu membuka mata mereka betapa melakukan hubungan seksual pranikah itu tidak ada untungnya. Ini misalnya terbukti ketika dr. Boyke membagikan kuesioner kepada peserta seminar remaja. Jawaban mereka sebelum dan sesudah mendengarkan ceramah bertolak belakang. Sebelum seminar, mereka rata-rata menyetujui hubungan seksual sebelum nikah. Tapi sesudahnya, 90% peserta menyatakan tidak setuju. Juga terungkap, mereka setuju adanya pendidikan seks, hanya tidak tahu harus ke mana memperolehnya.

Penyampaian materi pendidikan seks di rumah sebaiknya dilakukan kedua orang tua. "Sebelum usia 10 tahun pendidikan bisa diberikan secara bergantian, tapi umumnya ibu yang lebih berperan," kata Paat. Menjelang akil balik, saat sudah terjadi proses diferensiasi jenis kelamin dan mulai muncul rasa malu (pada wanita mengalami haid, pertumbuhan payudara, dan pada laki-laki mengalami mimpi basah dan perubahan suara), sebaiknya ibu memberi penjelasan kepada anak perempuan dan ayah kepada anak laki-laki. "Sekali waktu boleh diadakan komunikasi silang. Misalnya, kepada anak perempuannya seorang ayah dapat berdiskusi bagaimana perasaan-perasaan pria bila jatuh cinta, atau sebaliknya kepada anak laki-lakinya, ibu bisa mengungkapkan bagaimana perasaan seorang wanita bila didekati pria."

Menjelaskan tentang seks juga tidak perlu secara eksklusif. Itu bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Saat sedang sibuk memasak, misalnya, tiba-tiba si anak bertanya tentang kehamilan. Sang ibu tidak perlu menangguhkan jawaban atau menjanjikan jawaban akan diberikan panjang lebar di kamar, tapi bisa langsung saat itu juga. Tindakan eksklusif, menurut Paat, malah membuat si anak bisa berkesimpulan, seks merupakan sesuatu yang luar biasa dan harus dirahasiakan. Padahal pertanyaan seperti itu lumrah dan merupakan bagian dari kehidupannya.

"Kalau anak kita sama sekali tidak pernah bertanya soal seks, jangan dikira pasti beres. Coba pancinglah dengan buku," jelas Paat. "Keterangan dalam buku yang kurang jelas bisa didiskusikan dengan orang tua," tambah Boyke.

Di RT pun bisa
Pendidikan seks di sekolah, demikian Yulia dan Paat, hendaknya tidak terpisah dari pendidikan pada umumnya, dan bersifat terpadu. Ia bisa dimasukkan ke dalam pelajaran ilmu biologi, kesehatan, moral dan etika secara bertahap dan terus menerus. Mereka juga mensyaratkan penekanan pada pendidikan moral, meski tidak perlu sedetail pendidikan agama, agar pendidikan seks diterima murid sebagai suatu ilmu yang tidak untuk dipraktekkan sebelum waktunya.

Sekali waktu penyuluhan seks juga perlu diadakan. Misalnya, soal menghadapi masa haid dan mimpi basah bisa diberikan kepada anak kelas VI SD, proses terjadinya bayi (spermatozoa bertemu dengan sel telur) mulai diberikan kepada murid SLTP. Selanjutnya masalah kebebasan seks, alat kontrasepsi sampai hubungan seks (bukan tekniknya) diberikan kepada anak SLTA.

Menurut Yulia, penjelasan tentang program pendidikan seks yang hendak disampaikan kepada murid perlu juga diketahui orang tua murid. Maksudnya, agar mereka bisa memberi jawaban dan tidak terkejut bila tiba-tiba si anak atau remaja bertanya soal seks kepada mereka. "Karena, kadang-kadang ada anak yang dengan begitu bangga bercerita tentang pengetahuan seks yang baru diberikan di sekolah," tutur Yulia.

Dr. Paat dan dr. Boyke saling berbeda pendapat dalam soal penyampaian informasi tentang alat kontrasepsi. "Alat kontrasepsi macam kondom bukan rahasia lagi, karena dapat dibeli di mana-mana. Yang penting, mereka diberi penjelasan bahwa pemakaian sebelum menikah merupakan pelanggaran nilai-nilai moral dan agama," kata Paat. Sedangkan Boyke kurang setuju memperkenalkan pemakaiannya kepada remaja, karena khawatir disalahgunakan.

Lebih tepat, kata Paat, kalau tema penyuluhan didasarkan pada pendekatan pemecahan masalah (problem solving approach), yakni penyuluhan disertai kesempatan berkonsultasi dengan guru, konsultan psikologi di sekolah, atau guru agama. Pasalnya, masalah yang dihadapi setiap murid berbeda-beda.

Dalam hal ini Dra. Yulia menganggap penting peran guru bimbingan dan penyuluhan (BP). Guru-guru ini tak cuma sebagai guru BP, tapi juga mesti tahu soal pendidikan seks. "Kadang-kadang murid segan bertanya kepada orang tua. Atau, pernah bertanya malah dimarahi bapak atau ibunya," jelas Yulia. Dengan adanya kesempatan berkonsultasi, si anak bisa mengutarakan masalah pribadinya.

Selain di sekolah, "Di tingkat RT pun sebetulnya bisa sekali waktu diselenggarakan ceramah tentang seks bagi para orang tua atau remaja dengan bantuan dokter Puskesmas untuk mengisi kekosongan itu," kata Boyke.

Usul itu boleh juga. Bagaimanapun pendidikan seks bukan semata-mata tanggung jawab orang tua dan pendidik, tetapi juga masyarakat. (Nanny Selamihardja/I Gede Agung Yudana)

Survei: Remaja Indonesia Punya Pengalaman Seks Sejak Usia 1

sumber: Kompas Cyber Media, Jumat, 28 Januari 2005


Siapa nyana, ternyata sebagian besar remaja merasa tidak cukup nyaman curhat sama orang tuanya, terutama bertanya seputar masalah seks. Makanya, mereka lebih suka cari tahu sendiri melalui sesama teman ... dan nonton blue film.

Setidaknya, hasil itu menjadi salahsatu kesimpulan yang mengemuka dalam paparan hasil penelitian Synovate Research tentang perilaku seksual remaja di 4 kota, yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan.

Survey ini mengambil 450 responden dari 4 kota itu dengan kisaran usia antara 15 sampai 24 tahun, kategori masyarakat umum dengan kelas sosial menengah keatas dan kebawah. Selain itu, juga diberikan pembagian terhadap para responden ini berdasarkan aktivitas seks yang aktif dan pasif.

Dari penelitian yang dilakukan sejak September 2004 itu, Synovate mengungkapkan bahwa sekitar 65% informasi tentang seks mereka dapatkan dari kawan dan juga 35% sisanya dari film porno. Ironisnya, hanya 5% dari responden remaja ini mendapatkan informasi tentang seks dari orang tuanya.

Para remaja ini juga mengaku tahu resiko terkena penyakit seksual (27%) sehingga harus menggunakan kontrasepsi (27%). Tapi, hanya 24% dari responden ini yang melakukan preventiv untuk mencegah penyakit AIDS menghinggapi mereka.

Berpengalaman sejak 16 tahun

Dalam penelitian ini juga menarik untuk melihat pengalaman seksual remaja di 4 kota ini. Sebab, 44% responden mengaku mereka sudah pernah punya pengalaman seks di usia 16 sampai 18 tahun. Sementara 16% lainnya mengaku pengalaman seks itu sudah mereka dapat antara usia 13 sampai 15 tahun.

Selain itu, rumah menjadi tempat paling favorit (40%) untuk melakukan hubungan seks. Sisanya, mereka memilih hubungan seks di kos (26%) dan hotel (26%).

Uniknya, para responden ini sadar bahwa seharusnya mereka menunda hubungan seks sampai menikah (68%) dan mengerti bahwa hubungan seks pra nikah itu tidak sesuai dengan nilai dan agama mereka (80%). Tapi, mereka mengaku hubungan seks itu dilakukan tanpa rencana. Para responden pria justru 37% mengaku kalau mereka merencanakan hubungan seks dengan pasangannya. Sementara, 39% responden perempuan mengaku dibujuk melakukan hubungan seks oleh pasangannya.

Karenanya, ketika ditanya bagaimana perasaan para responden setelah melakukan hubungan seks pra nikah itu, 47% responden perempuan merasa menyesal karena takut hamil, berdosa, hilang keperawanan dan takut ketahuan orang tua.

"Mereka juga tahu bahwa ada beberapa jenis penyakit yang ditularkan dari hubungan seksual. Misalnya 93% tahu tentang AIDS dan 34% tahu Sipilis. Kalau tentang AIDS, mereka 82% tahu dari televisi, 20% dari internet dan hanya 10% yang tahu dari orang tuanya," kata camita Wardhana, Project Director Synovate yang mempresentasikan hasil penelitian ini.

Perlu informasi lebih lengkap

  • Meskipun hasil penelitian ini bukan hal yang baru bagi masyarakat saat ini, tetap saja perlu hati-hati menyikapinya agar tidak menjadi salah persepsi.

Adrianus Tanjung, Kepala Divisi Komunikasi Informasi, Edukasi dan Advokasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) melihat, meskipun hasil penelitian ini memberikan gambaran rata-rata pada perilaku remaja kita saat ini, ada beberapa faktor yang bisa saja bias.

"Seperti pembagian remaja yang aktif dan pasif secara seksual dalam penelitian ini, masih bisa diperdebatkan. Misalnya, apakah jika remaja yang pernah sekali melakukan hubungan seksual tapi lalu tidak melakukannya lagi, itu tetap dalam kategori aktif secara seksual?"

Namun, ia melihat bahwa hasil penelitian ini memberikan kecenderungan yang makin menguat bahwa para remaja ini membutuhkan tempat yang nyaman untuk mencurahkan perasaan atau bertanya seputar seks.

"Mereka sulit tanya ke orangtua karena bisa aja orangtua nggak tahu .Selain itu, mungkin juga mereka membutuhkan tempat yang didesain nyaman supaya mereka mau datang ke konseling seks," tambah Tanjung.

Sebab itu, PKBI yang juga pernah mendapatkan hasil serupa dari penelitian sejenis beberapa waktu lalu ini, menurut Tanjung, akan mencoba memberikan konseling lebih detil tentang alat-alat reproduksi kepada remaja. Caranya dengan masuk ke sekolah-sekolah melalui kegiatan ekstra kulikuler seperti Pramuka.

"Ini penting agar mereka mengerti organ reproduksi mereka sendiri, mulai dari pembuahan sampai hamil dan melahirkan. Dengan begitu, mereka akan lebih dapat menjaga diri sendiri, tahu resiko-resikonya, meskipun tidak selalu dalam pantauan orangtua," demikian Andrianus Tanjung. (Lily Bertha Kartika)



Kos-kosan Jadi Ajang Seks Bebas

Jangan pernah 100% percaya sama anak-anak kita yang kos. Buktinya di kota pelajar di Yogyakarta, pola hidup seks bebas makin berkembang dengan serius. Soalnya pengawasannya kan longgar banget. Sementara pengaruh kehidupan seks bebas ke mereka itu kencang banget.

Ini bukan cuma isapan jempol loh! Memed tahu informasi ini dari hasil survei yang dilakukan Pusat Studi Wanita Universitas Islam Indonesia (PSM-UII) Yogyakarta. Mereka melakukan survei ke tempat-tempat kos dan pondokan.

Hasil survei menunjukkan, jumlah pelajar di Yogyakarta sebesar 121 ribu atau sekitar 25% dari penduduk kota yang jumlahnya 490 ribu orang, mendorong makin suburnya bisnis rumah kos di kota ini.

Sementara tingkat pengawasan dari pemilik kos maupun pihak orang tua makin longgar sehingga makin banyak remaja yang terjebak ke dalam pola hidup seks bebas karena berbagai pengaruh yang mereka terima baik dari teman, , dan pengaruh lingkungan secara umum.

"Sekuat-kuatnya mental seorang remaja untuk tak tergoda pola hidup seks bebas kalau terus menerus mengalami godaan dan dalam kondisi sangat bebas dari kontrol tentu satu saat akan tergoda pula untuk melakukannya. Godaan semacam itu terasa lebih berat lagi bagi remaja yang memang benteng mental dan keagamaannya tak begitu kuat," kata Kepala PSW UII Dra. Trias Setiawati, M.Si.

Makanya, Trias desak Walikota Yogyakarta segera memperhatikan ancaman degradasi moral di kalangan remaja tersebut dengan mengeluarkan ketentuan wajib adanya kontrol yang ketat bagi para pemilik rumah kos, serta menindak tegas warung-warung persewaan VCD dan Internet yang memeberi tempat gambar cabul bagi kaum remaja.

"Masalah ini akan lebih efektif bila diatasi dengan adanya kesadaran dari para pemilik kos sendiri untuk melakukan pengawasan intensif kepada anak-anak kosnya secara proporsional. Yang paling efektif tentu saja kalau ada kesadaran dari orang tua masing-masing siswa untuk memilihkan tempat kos yang layak dan aman serta membekali putera-puteri mereka dengan benteng ajaran agama yang kokoh," ujarnya kepada Antara,· Sumber: Satumed.com


Survei: Remaja Indonesia Punya Pengalaman Seks Sejak Usia 1

sumber: Kompas Cyber Media, Jumat, 28 Januari 2005

Siapa nyana, ternyata sebagian besar remaja merasa tidak cukup nyaman curhat sama orang tuanya, terutama bertanya seputar masalah seks. Makanya, mereka lebih suka cari tahu sendiri melalui sesama teman ... dan nonton blue film.

Setidaknya, hasil itu menjadi salahsatu kesimpulan yang mengemuka dalam paparan hasil penelitian Synovate Research tentang perilaku seksual remaja di 4 kota, yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan.

Survey ini mengambil 450 responden dari 4 kota itu dengan kisaran usia antara 15 sampai 24 tahun, kategori masyarakat umum dengan kelas sosial menengah keatas dan kebawah. Selain itu, juga diberikan pembagian terhadap para responden ini berdasarkan aktivitas seks yang aktif dan pasif.

Dari penelitian yang dilakukan sejak September 2004 itu, Synovate mengungkapkan bahwa sekitar 65% informasi tentang seks mereka dapatkan dari kawan dan juga 35% sisanya dari film porno. Ironisnya, hanya 5% dari responden remaja ini mendapatkan informasi tentang seks dari orang tuanya.

Para remaja ini juga mengaku tahu resiko terkena penyakit seksual (27%) sehingga harus menggunakan kontrasepsi (27%). Tapi, hanya 24% dari responden ini yang melakukan preventiv untuk mencegah penyakit AIDS menghinggapi mereka.

Berpengalaman sejak 16 tahun

Dalam penelitian ini juga menarik untuk melihat pengalaman seksual remaja di 4 kota ini. Sebab, 44% responden mengaku mereka sudah pernah punya pengalaman seks di usia 16 sampai 18 tahun. Sementara 16% lainnya mengaku pengalaman seks itu sudah mereka dapat antara usia 13 sampai 15 tahun.

Selain itu, rumah menjadi tempat paling favorit (40%) untuk melakukan hubungan seks. Sisanya, mereka memilih hubungan seks di kos (26%) dan hotel (26%).

Uniknya, para responden ini sadar bahwa seharusnya mereka menunda hubungan seks sampai menikah (68%) dan mengerti bahwa hubungan seks pra nikah itu tidak sesuai dengan nilai dan agama mereka (80%). Tapi, mereka mengaku hubungan seks itu dilakukan tanpa rencana. Para responden pria justru 37% mengaku kalau mereka merencanakan hubungan seks dengan pasangannya. Sementara, 39% responden perempuan mengaku dibujuk melakukan hubungan seks oleh pasangannya.

Karenanya, ketika ditanya bagaimana perasaan para responden setelah melakukan hubungan seks pra nikah itu, 47% responden perempuan merasa menyesal karena takut hamil, berdosa, hilang keperawanan dan takut ketahuan orang tua.

"Mereka juga tahu bahwa ada beberapa jenis penyakit yang ditularkan dari hubungan seksual. Misalnya 93% tahu tentang AIDS dan 34% tahu Sipilis. Kalau tentang AIDS, mereka 82% tahu dari televisi, 20% dari internet dan hanya 10% yang tahu dari orang tuanya," kata camita Wardhana, Project Director Synovate yang mempresentasikan hasil penelitian ini.

Perlu informasi lebih lengkap

  • Meskipun hasil penelitian ini bukan hal yang baru bagi masyarakat saat ini, tetap saja perlu hati-hati menyikapinya agar tidak menjadi salah persepsi.

Adrianus Tanjung, Kepala Divisi Komunikasi Informasi, Edukasi dan Advokasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) melihat, meskipun hasil penelitian ini memberikan gambaran rata-rata pada perilaku remaja kita saat ini, ada beberapa faktor yang bisa saja bias.

"Seperti pembagian remaja yang aktif dan pasif secara seksual dalam penelitian ini, masih bisa diperdebatkan. Misalnya, apakah jika remaja yang pernah sekali melakukan hubungan seksual tapi lalu tidak melakukannya lagi, itu tetap dalam kategori aktif secara seksual?"

Namun, ia melihat bahwa hasil penelitian ini memberikan kecenderungan yang makin menguat bahwa para remaja ini membutuhkan tempat yang nyaman untuk mencurahkan perasaan atau bertanya seputar seks.

"Mereka sulit tanya ke orangtua karena bisa aja orangtua nggak tahu .Selain itu, mungkin juga mereka membutuhkan tempat yang didesain nyaman supaya mereka mau datang ke konseling seks," tambah Tanjung.

Sebab itu, PKBI yang juga pernah mendapatkan hasil serupa dari penelitian sejenis beberapa waktu lalu ini, menurut Tanjung, akan mencoba memberikan konseling lebih detil tentang alat-alat reproduksi kepada remaja. Caranya dengan masuk ke sekolah-sekolah melalui kegiatan ekstra kulikuler seperti Pramuka.

"Ini penting agar mereka mengerti organ reproduksi mereka sendiri, mulai dari pembuahan sampai hamil dan melahirkan. Dengan begitu, mereka akan lebih dapat menjaga diri sendiri, tahu resiko-resikonya, meskipun tidak selalu dalam pantauan orangtua," demikian Andrianus Tanjung.


Saturday, April 02, 2005

Frigiditas dan Emosi Seksual Wanita

Yang Dimaksud Frigiditas

Jangan buru-buru mengklaim diri Anda sebagai ‘frigid’ hanya karena gairah seks Anda lebih rendah daripada pasangan Anda. Bahayanya banyak orang yang menjadi frigid sebelum dirinya benar-benar frigid. Hal itu disebabkan karena ia berasumsi bahwa dirinya sudah frigid. Perasaan frustrasi terhadap diri sendiri (karena tak punya gairah sebesar pasangannya) akan memicu runtuhnya kepercayaan diri.

Tak semudah itu mendefinisikan frigiditas. Beberapa pakar berpendapat, frigiditas harus didiagnosa oleh seorang ahli, melalui penerapan teori-teori yang berlaku.

Definisi yang paling praktis dari frigiditas adalah suatu keadaan dimana seseorang kehilangan sama sekali gairah seksnya dan tidak berkemauan membangkitkannya lagi. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya perasaan kecewa yang mendalam terhadap pasangan, perlakuan kasar, picik dan tidak adil, trauma seks masa lalu, pemerkosaan, dan lain-lain. Penyebab lain yang juga berperan adalah keadaan psikologis tertentu, misalnya depresi, stress, atau adanya gangguan fungsi kelenjar gondok.

Adanya definisi yang meluas terhadap gejala terhambatnya gairah seks menyebabkan penanganan frigiditas, kini berbeda dengan dahulu. Jika dahulu yang ditangani hanya wanita saja, kini kedua belah pihak: laki-laki dan wanita.

Frigiditas dapat disembuhkan jika faktor-faktor penyebabnya telah ditemukan dan diobati. Para ahli terapi seks, menyembuhkan frigiditas dengan menyelidiki perasaan-perasaan yang secara langsung maupun tak langsung merintangi kepuasan seks seseorang. “Kadang, ada sebuah luka di awal kehidupan mereka yang membekas sebagai penderitaan, sehingga tidak pernah dapat diatasi dengan baik. Dengan demikian, kekecewaan demi kekecewaan akan semakin menumpuk saja,” kata seorang pakar. Jadi, frigiditas memang perlu disembuhkan lewat terapi yang cukup panjang.

Jika faktor penyebab telah berhasil diatasi, maka lambat laun seseorang akan mulai menikmati suatu hubungan seks, hingga mencapai kepuasan. Kepuasan seks yang dicapai, secara langsung akan meningkatkan pula kebutuhannya terhadap seks.
----------------------

Libido Dan Siklus Menstruasi
Emosi seksual kita ditentukan oleh siklus menstruasi. Bagaimana mendeteksinya?

Hari 1 sampai 5: 'Gencatan Senjata'
Pada masa ini, wanita yang sudah menikah menghindari segala bentuk hubungan seksual. Kadar estrogen mulai berkembang dan mempunyai andil dalam improvisasi gairah kita. Ingat, karena kadar estrogen masih relatif rendah, sedikit mustahil membangkitkan libido pada masa ini.

Hari 7 sampai 10: Gairah Tinggi
Produksi sel telur pada indung telur sudah memasuki putaran berikutnya dan estrogen jadi semakin gencar 'menyerang' sistem tubuh. Inilah saatnya bercinta! Meskipun kita sedang merasa bergairah luar biasa, orgasme tidaklah begitu penting bagi kita, karena pada masa ini kita lebih tertarik pada sentuhan fisik yang lembut dan penuh kasih sayang.

Hari 14: Hati-hati!
Masa pembuahan dan produksi estrogen mencapai puncaknya. Pada masa ini, hormone testoteron punya andil besar dalam mengobarkan gairah seksual kita. Kita jadi lebih agresif, karena 'kolaborasi' antara hormon estrogen dan oksitosin mempengaruhi perkembangan sensitivitas terhadap sentuhan.

Hari 17 sampai 22: Mundur!
Pada masa ini, kadar progesteron atau si hormon penolak mulai aktif. Begitu hormon ini muncul ke permukaan, perasaan kita jadi dingin, lekas marah dan tidak ramah. Zona erotis yang sensitif pada tubuh kita menjadi 'kebal' dan untuk sementara tidak ada tempat untuk orgasme.

Hari 24 sampai 28: 'Swalayan'
Kadar estrogen dan progesteron semakin menipis, dan testoteron-lah yang mengambil alih kendali gairah kita. Tubuh kita akan memberi sinyal bahwa dia siap bercinta, meskipun otak kita menolak mentah-mentah. Bisa jadi hormon yang gonjang-ganjing pada masa ini mendorong kita untuk melakukan 'swalayan'.

Note" Bener atau tidaknya uraian di atas dapat anda bandingkan dgn pengalaman anda sendiri, kalau saya sich memang begitu... banyak benernya, yach 80 persen lah... (blue angel)