Tuesday, May 11, 2004

Menelusuri Pelacuran ABG di Semarang, Jawa Tengah (IV)

SEMARANG - JAWATENGAH

Yang Kelas Kumuh dan Kelas Mewah

KETIKA berusia 10 tahun, tujuh tahun lalu, Noni sudah mulai mengenal pria. Saat itu ia disuruh 'turun ke jalan' di Semarang oleh ibu kandungnya, mengikuti jejak kakak perempuannya.

"Kami diharuskan menyetor sejumlah uang setiap hari," cerita Noni mengenang masa lalunya. Tidak terlalu membekas dalam ingatannya, bagaimana pertama kali ia bergaul dengan pria.

"Sungguh, saya tidak ingat. Yang saya tidak bisa lupa adalah ibu marah-marah ketika saya pulang tidak membawa uang," ujarnya. Ia sering kali disiksa, dipukul dengan gagang sapu, dan diseret keluar dari rumah karena pulang tanpa hasil.

Karena kenyang pengalaman di lapangan, saat ini Noni menjadi 'bos' sejumlah ABG di Semarang. Oleh anak buahnya ia dipanggil dengan sebuatn 'mami'. Sebagai 'mami' muda, Noni juga melayani bila ada pria yang mengajak.

"Biasanya saya tawarkan anak-anak. Tapi sering kali pria memaksa agar saya yang menemaninya, ya, terpaksa untuk menyenangkan pelanggan," ujarnya. ABG yang menjadi anak buah Noni tidak mangkal di mal atau di tempat-tempat hiburan seperti klub malam, karaoke, atau diskotek, mereka berkeluyuran di jalan-jalan.

Noni yang berwajah sensual ini gampang dijumpai di seputar Jalan Pahlawan, atau bisa menghubungi melalui handphone.

Kalau ada konsumen yang memesan, harganya bervariasi antara Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu. Yang tarif Rp 25 ribu sampai Rp 50 ribu juga disediakan oleh Noni.

Salah satu anak 'asuhnya' yang tergolong paling imut-imut adalah Wati, 12 tahun. Menurut gadis yang masih 'bau kencur' ini, dunia pelacuran dianggapnya lebih dapat memberikan hasil yang lebih besar dan lebih cepat, dibandingkan jika dirinya harus ngamen atau berjualan koran.

Sudah dua tahun Wati berada di 'kegelapan malam'.

Awalnya, dalam usia l0 tahun, ia diperkosa tetangganya saat ia sedang tidur siang. Ketika kasus itu disampaikan kepada ibunya, Wati justru dimarahi habis-habisan. Belakangan baru diketahui, bahwa ternyata ibunya menerima imbalan sejumlah uang dari tetangganya itu.

Mulai saat itulah, Wati turun ke jalanan. Oleh teman-temannya yang dikenali di jalanan, diberi tahu bahwa cara paling gampang untuk mendapat uang adalah bersedia melayani laki-laki. Dan ternyata betul, baru beberapa hari 'berkeliaran' di jalan, Wati sudah mampu membeli pakaian bagus, kosmetik, serta seabrek kebutuhannya layaknya gadis-gadis belia. Bahkan ia sering kali diajak nonton, pergi ke diskotek.

Gaya hidup ternyata menjadi faktor utama yang mendorong menjamurnya pelacuran ABG di Semarang.

ABG-ABG kelas bawah bisa ditemui di daerah permukiman kaum urban atau daerah miskin seperti Bandarharjo, Gunung Brintik, Tandang, Mrican, dan berbagai perkampungan kumuh lainnya.

ABG jalanan di Semarang memang agak berbeda dengan ABG yang berada di 'kelas atas'. Keinginannya untuk mencicipi gemerlapnya kehidupan malam adalah penyebab utama mereka menjual diri. Mereka bisa ditemui di sejumlah diskotek dan tempat hiburan lainnya.

Mereka tidak semata mencari uang, diajak 'muter-muter' naik mobil mewah, sudah bisa dibawa masuk kamar. Penampilan mereka memang cukup mendebarkan, mengenakan busana trendy beserta segala aksesoris, sepatu bermerek, parfum impor, dan handphone.

Mereka juga bisa digaet dengan sebutir pil ekstasi, "Asal diberi sebutir pil, saya bersedia melanjutkan acara ke hotel,'' tutur Titin. Gadis 17 tahun yang sudah biasa keluar-masuk diskotek itu, mengaku orang tuanya tidak terlalu peduli dengan kebiasaannya pulang malam.

Gadis berambut pendek dengan alis mata tebal itu mengakui tak sembarangan memilih pasangan kencannya. Dia juga tidak memasang jerat di plaza, mal, atau pusat-pusat pertokoan layaknya teman-temannya. Maklum, dia sudah cukup lama terjun menjajakan dirinya. Sehingga tahu persis lelaki yang berkantong padat atau sebaliknya.

Hasrat Titin untuk menelan pil, katanya, dilakukan karena ia ingin melupakan berbagai persoalan yang ada di rumah. Dalam usia 15 tahun Titin yang hidupnya serbakekurangan itu telah dikawinkan oleh orang tuanya. Tetapi karena perkawinan itu sendiri memang bukan kehendaknya, maka ketika melahirkan anak pertamanya Titin langsung minta cerai.

Dalam kondisi mental yang labil, secara kebetulan seorang tetangganya mengajaknya 'dolan-dolan' ke sebuah diskotek di Jl Gajahmada, Semarang. ''Di situlah pertama kali saya mengenal inex, dan pertama kali pula saya menerima tamu lelaki di hotel. Lumayan juga, diberi uang saku Rp 150.000,'' kenangnya.

Keenakan dengan inex, mulailah Titin menjadi kecanduan obat. Bahkan di lingkungan dunia malam ia dikenal sebagai pecandu berat.

Secara terbuka Titin mengakui, kini dia bahkan sudah mencapai dosis yang berlebihan. Sebutir pil tak lagi mempan membuatnya jadi on. Dia kini sudah mulai bermain-main dengan jenis sabu-sabu yang juga banyak dijual bebas di Semarang.

Rasanya? ''Oh, lebih nikmat dan lebih panjang. Apalagi kalau digunakan untuk bercinta, luar biasa,'' ujarnya mengaku terus terang.

Setiap malam dia biasa melayani tamunya dua orang di sebuah kamar hotel di kawasan Gombel. Tak merasa capai? Dengan mata berbinar Titin justru memaparkan fantasi seksual yang sangat luar biasa. "Karena itu, pada tamu-tamu tertentu saya menyimpan nomor handphone-nya,'' ucapnya genit.

Lain lagi dengan Ina, 16 tahun, yang juga sangat menyukai dunia malam. Tetapi tidak gampang untuk diajak chek in ke hotel. "Yang saya lakukan hanya untuk menemani tamu. Kalau menemani tamu biasanya saya mendapatkan tips, selain minum-minuman yang enak. Tetapi kalau tamunya mau cari booking-an, saya carikan teman lain yang mau. Biasanya setelah itu saya diberi uang lagi oleh tamunya,'' ujar Ina.

Dari pengakuannya Ina memang cukup selektif memilih cowok pasangannya. Selain masih sebaya dan sama-sama muda, syarat yang lain juga harus naik mobil sendiri. "Kalau tidak selera lebih baik pulang tidur saja Mas," ujarnya.

Ina mengaku kurang menyukai lelaki yang jauh lebih tua dari usianya. Alasannya, karena dia masih menyukai cara-cara berpacaran dibandingkan dengan 'jual-beli'. Karena itulah, ia tidak pasang tarif tertentu. "Asal saya suka, cukup sekadar ongkos taksi saja,'' katanya.

Pelacur ABG di Semarang juga disebut ciblek. Selain di diskotek, para pelacur ABG ini juga banyak ditemui di kafe-kafe atau kedai-kedai lesehan kawasan Simpang Lima, Jl Pahlawan, Jl Pemuda atau Jl Pandanaran. Mereka biasanya selalu bergerombol dua-tiga orang, sambil minum minuman hangat.

bersambung....