Tuesday, May 11, 2004

Menelusuri Pelacuran ABG di Kalimantan Timur (VIII)

KALIMANTAN TIMUR

"DI SEMAK-semak saja," kata Elin, ketika diajak melanjutkan 'acara' ke sebuah hotel di Tanjung Selor, ibu kota Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur. Ia merasa tidak aman masuk ke hotel dengan pakaian sekolah.

Gadis dari pedalaman Kalimantan yang berusia 17 tahun itu bercerita, ia biasa berkencan di balik pohon. "Saya tidak biasa di hotel. Di tempat lain juga boleh, pokoknya jangan di hotel. Di semak-semak juga tidak apa-apa, tidak ada yang lihat. Kan cuma sebentar," katanya.

Umumnya kencan dilakukan di semak-semak, atau di balik pohon, di tempat kost bila siang hari, atau di atas kapal yang banyak bertambat di daerah ini, atau bahkan di dalam mobil.

Para ABG paling takut bila diajak kencan di hotel maupun penginapan setempat. Kalaupun bersedia, maunya hotel atau penginapan di Kota Madia Turakan, sekitar satu jam setengah dari Tanjung Selor, bila menggunakan long boat.

ABG yang bisa diajak kencan di Tanjung Selor, banyak berkeliaran menjelang masa ulangan umum. Menurut Elin, banyaknya ABG yang 'turun ke jalan' pada saat-saat seperti itu karena mereka membutuhkan uang untuk keperluan sekolah.

Elin mengakui bahwa mereka yang dari pedalaman sangat kekurangan uang. Untuk membiayai kehidupan sehari-hari memang mencukupi, tapi bila kebutuhan uang mulai agak besar seperti menjelang ulangan umum atau ujian, mereka hampir tidak berdaya. Orang tuanya yang berada jauh di pedalaman hanya petani atau peladang berpindah.

Ketika berangkat dari kampung halamannya untuk melanjutkan sekolah ke kota, mereka memang sudah dipersiapkan sedemikian rupa oleh orang tuanya agar terhindar dari 'malapetaka' kehamilan. Seperti Elin misalnya, untuk 'menjaga diri' agar tidak hamil, oleh ibunya ia diberikan jarum yang sudah dimantera-mantera.

Setiap hari menjelang keluar rumah atau mau berkencan, ia merendam jarum bermantera itu ke dalam segelas air, lalu airnya diminum. Sampai sekarang, Elin aman-aman saja kendati sudah berkali-kali melakukan hubungan seks.

"Berbahaya bila tidak minum air jarum," katanya. Ia menceritakan pengalaman temannya yang kehilangan jarum bermantera, setelah berkencan temannya itu hamil dan melahirkan anak tanpa ayah. Kemudian menjadi pelajar di Tarakan.

Banyak sudah gadis remaja di kota itu karena terlalu sering melakukan seks bebas, kemudian terjerumus menjadi pelacur. Menurut Elin, selain karena persoalan tersebut, banyaknya ABG menjadi pelacur karena ulah sejumlah oknum aparat.

Para ABG itu, tadinya merasa aman bila berhubungan dengan mereka, yang di sana dikenal dengan istilah kombet. Para kombet, awalnya melindungi mereka dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab, tapi ujung-ujungnya para gadis itu dijual.

Seperti pengalaman Inge, juga berhenti dari SLTA saat mengetahui ada janin bayi dalam perutnya, 'hadiah' dari seorang oknum aparat kepolisian dari satuan provost. Pacaran tetap berlanjut, hingga menyeberang ke Tawan, Malaysia.

Di Tawan, janinnya digugurkan. Sementara sang pacar bolak-balik Tawan-Tanjung Selor karena masih berdinas di Polres Bulungan. Singkat cerita, menurut Inge yang masih takut menyebutkan nama pacarnya tersebut, Inge dijual kepada para hidung belang di Tawan, berkisar seharga 200 hingga 250 ringgit Malaysia atau berkisar Rp 360 ribu hingga Rp 450 ribu untuk setiap kali kencan.

Menurut Inge, jaringan penjualan gadis ABG ke Tawan cukup rapi. Pada pedagang gadis lengkap dengan mata-mata dan tukang pukulnya. Mereka umumnya orang Indonesia yang memiliki kebebasan keluar masuk ke negara tetangga itu. Harga seorang wanita, dihargai cukong 4.000 ringgit atau Rp 7,2 juta (satu ringgit Rp 1.800).

Tapi saat ini Inge sudah lepas dari cengkeraman kombet. Inge melarikan diri dan lolos kembali ke kampung halamannya, ketika para tukang pukul berpesta, menikmati hasil penjualan wanita.

Selain ditempatkan di hotel-hotel di Tawan, juga ada yang dijual lagi ke cukong di Singapura, Sandakan, dan Kinabalu.

Menurut pengakuan Inge, memikirkan melarikan diri dari sarang maksiat, muncul saat Inge sedang haid namun dipaksa melayani tamu. Karena Inge menolak, ia lalu dipukuli dan dicaci maki, perlakuan yang sama juga dialami wanita-wanita lainnya.

Inge belum berani mengungkapkan siapa-siapa oknum yang terlibat dalam penjualan wanita-wanita, dia hanya menjelaskan di antara rekan-rekan wanitanya waktu masih di Tarakan, Tanjung Selor, maupun asal Pulau Jawa, rata-rata terbujuk dengan janji dapat kerja dengan gaji besar. Hal itu dibuktikan si pembawa dengan membelikan pakaian mewah dan pehiasan emas.

Namun setelah berada di sana, pakaian dan perhiasan dipreteli untuk diambil lagi. Hasil kencan dengan tamu juga diambil. Mereka dilarang kirim surat ke keluarga.

Lain lagi cerita ABG di Samarinda, mereka rata-rata anak putus sekolah dengan usia 14 sampai 17 tahun. Setiap hari mereka bisa ditemukan di sepanjang tepian Mahakam, terutama di Jl Slamet Riady atau lebih dikenal dengan sebutan Karang Asam.

Pria yang singgah di sana, ditawari oleh sejumlah wanita untuk minum sambil makan jagung manis. Kepada tamu, mereka hampir selalu mengatakan, "Mampir Mas, sambil minum dan bercinta." Kata 'bercinta' itulah yang menjadi daya tarik.

Pada pukul 19.00 hingga 21.30 di tempat itu biasa nongkrong anak sekolah. Di antaranya Yeyen berusia 17 tahun. Kepada tamu, ia sering kali minta diantar pulang.

Dalam perjalanan, Yeyen berkata, ''Eh... baru jam delapan malam, bagusnya kita ke mana ya?'' Penghuni rumah kost di Jalan Rahui Rahayu itu pulang sekitar pukul 22.00.

Di tepian Mahakam, menurut Yeyen ada empat ABG berstatus pelajar. Mereka adalah teman-teman sekolahnya. Semua temannya terjun ke dunia pelacuran, bukan karena kekurangan uang, tapi didorong oleh kebiasaan menelan ekstasi.

Selain mendapat ekstasi, mereka juga bisa mengantongi uang. Bila malam Minggu, penghasilannya berkisar antara Rp 200 ribu hingga Rp 350 ribu. "Saya biasanya hanya sanggup melayani dua orang," kata Yeyen.

bersambung....

1 comment:

obat telat bulan said...

thanks gan artikelnya.